Perjalanan Senja Gadis Senja Untuk Seorang Laki-laki yang Selalu Memesan Secangkir Kopi Hitam

Untuk Seorang Laki-laki yang Selalu Memesan Secangkir Kopi Hitam



Kuharap aku cukup berani untuk mengajakmu bicara. Kamu selalu duduk dekat jendela, memesan secangkir kopi hitam. Kamu juga sering memandang keluar jendela dan tidak melakukan hal lain. Kamu terlihat seperti sedang menunggu seseorang.

Ya, tentu saja. Kamu selalu menunggu kedatangannya.

Aku pernah melihatmu dengan perempuan itu. Kalian berdua dulu suka datang ke kafe kecil ini. Kalian tampak saling jatuh cinta, berpandangan dan berbagi makanan. Selalu ada cahaya itu di matamu. Dia cantik sekali, bukan? Aku setuju. Laki-laki normal mana pun pasti akan melakukan apa saja untuk bisa pergi berdua dengannya.

Meskipun aku cemburu, rasanya aneh. Maksudku, siapa sih, aku? Kita bahkan nggak saling kenal. Nggak mungkin aku asal menghampirimu, menyapa, lalu mengenalkan diriku.

—***—

Kuharap aku cukup berani untuk mengajakmu bicara. Kamu selalu duduk dekat jendela, memesan secangkir kopi hitam. Kamu juga sering memandang keluar jendela dan tidak melakukan hal lain. Kamu terlihat seperti sedang menunggu seseorang.

Perempuan itu.

Aku pernah melihatnya. Ini kelebihan dari pekerjaanku: aku mudah menghapal wajah-wajah familiar. Nggak harus selalu ngobrol langsung dengan mereka, namun aku masih memperhatikan. Aku punya ingatan fotografis.

Aku pernah melihat perempuan itu, tapi tidak di sini. Saat itu hari liburku. Dia ada di mall, tapi tidak denganmu. Kamu nggak brewokan dan berdandan seperti musisi rock. Kamu tipe laki-laki yang selalu rapi.

Dan laki-laki lain itu menciumnya di parkiran…

—***—

Kuharap aku cukup berani untuk mengajakmu bicara. Malam ini kamu duduk dekat jendela dengan kopi hitam pesananmu di atas meja. Kopinya sudah dingin sekarang. Kamu sama sekali tidak menyentuhnya. Kamu menatap ke luar jendela, dengan cahaya yang perlahan meredup di matamu.

Perempuan itu tidak datang, namun kamu masih menunggu. Kamu bisa saja pulang, namun memilih tetap di situ hingga kami tutup. Selalu.

Bagaimana aku bisa mengusir kesedihanmu? Kuharap aku cukup bernyali untuk menghampiri dan mengajakmu bicara, tapi kita nggak saling kenal.

Aku cuma tahu kamu suka kopi hitam, karena itulah yang selalu kau pesan setiap kali datang – bahkan saat masih bersamanya dulu. Kopi itulah yang kuantarkan untukmu, demi sejumlah uang…dan seulas senyummu untukku…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.