Perjalanan Senja Gadis Senja Anak Lelaki Itu Di Stadion Sepak Bola

Anak Lelaki Itu Di Stadion Sepak Bola



Aku dipanggil bersama tim forensik kepolisian lokal sesudah peristiwa naas itu. Sehari sesudah kerusuhan akbar di stadion sepak bola itu yang memakan seratus lebih korban meninggal dan luka-luka, banyak benda yang harus kami kumpulkan untuk bukti-bukti di antara sampah-sampah yang bertebaran. Ada bekas botol plastik, pecahan botol kaca, bungkus makanan, bekas muntahan, residu gas air mata, darah …

Percayalah, mental baja wajib kamu miliki bila ingin pekerjaan macam ini. Bagi kami, membongkar lokasi kerusuhan maupun kasus pembunuhan biasa sudah bagian dari pekerjaan sehari-hari. Menemukan jenazah – atau kadang sisanya – bisa bikin yang tidak terbiasa muntah-muntah … atau malah pingsan.

Untunglah, tidak ada lagi jenazah yang tersisa di lokasi kejadian perkara. Hanya sampah dan ceceran cairan biologis manusia yang kusebutkan barusan.

Saat sedang bekerja, entah kenapa kurasakan ada yang tengah mengamatiku. Aku mendongak dan langsung melihatnya di atas – di tribun penonton.

Ada seorang anak lelaki berdiri di sana. Sosoknya tampak mungil dan kumal, dengan rambut pendek berantakan serta pakaian kotor. Dia memakai kaos oranye dan celana pendek biru. Kakinya bersandal jepit.

“Hai, kok bengong?” tegur Dani, ketua timku. Aku gelagapan dan langsung memandangnya. “Buruan, bentar lagi udah senja.”

“Oke.” Sambil kembali memungut sampah yang kira-kira bisa diteliti di lab kami, kembali kulirik tribun.

Anak lelaki tadi sudah tidak ada di sana. Ke mana dia? Stadion ini masih ditutup untuk umum selepas kerusuhan semalam sehabis pertandingan. Bagaimana dia bisa masuk?

Apakah aku hanya berkhayal?

-***-

Foto: https://unsplash.com/photos/pH7_hVJ65ss

Kuberikan semua penemuanku pada timku. Kukatakan pada mereka bahwa aku akan segera menyusul. Dani tertegun.

“Mau ngapain?” tanyanya penasaran.

“Mau makan dulu,” jawabku sambil meringis dan menyentuh perutku sendiri. “Lapar.”

Dani menatapku takjub. Sebagai ketua tim, dia memang lebih senior daripada aku. Lelaki itu juga selalu tampak cool di lapangan.

Padahal, aslinya dia gampang banget mual. Aku sudah pernah dua kali memergokinya muntah-muntah sehabis operasi TKP. Makanya, dia takjub mendengar pengakuanku.

“Oke.” Hanya itu yang dikatakannya padaku. Aku bersyukur dia tidak terlalu banyak bertanya. Mungkin juga Dani sendiri ingin segera hengkang dari TKP.

Sepeninggal timku, aku tidak segera beranjak. Sebenarnya, aku sama sekali tidak lapar. Aku hanya ingin mencari anak lelaki barusan.

“Permisi, Ibu. Tolong antar saya pulang.”

Aku terperanjat dan berbalik. Astaga, sejak kapan anak lelaki itu sudah ada di belakangku? Kali ini, bisa kulihat matanya tampak merah dan berair, seperti habis menangis semalaman. Napasnya juga berbunyi parau seperti penderita asma.

“Namamu siapa, nak?” tanyaku dengan ramah namun hati-hati. Kucoba mendekatinya, namun anak itu berjengit mundur ketakutan. “Oke, maaf. Kamu tahu rumahmu di mana?”

Anak lelaki itu mengangguk. Akhirnya, kuputuskan untuk mengantarnya pulang. Meskipun tidak mengatakan namanya, anak itu tahu arah pulang ke rumahnya di pemukiman dekat stadion sepak bola tadi. Saat anak itu mengatakan bahwa semalam dia terpisah dari kedua orang tuanya saat menonton pertandingan bola yang berakhir rusuh, aku terkesiap ngeri sekaligus takjub.

“Astaga, kamu salah satu yang selamat dari tragedi semalam!” seruku. “Ayo, sini. Biar Ibu antar kamu pulang.”

Tibalah kami di depan rumahnya. Kulihat seorang perempuan tengah membentak seorang anak lelaki lain yang lebih kecil sambil menangis. Anak itu juga menangis sambil memeluk erat bola sepak hitam-putih di dadanya.

“Tolong!” Perempuan itu memohon pada anak itu. “Maafkan Emak, tapi Emak tidak mau kehilangan kamu seperti Emak kehilangan abang kamu. Jangan ada sepak bola lagi. Emak menyesal sudah mengajak abangmu nonton bola dan sekarang dia sudah tiada!”

Darahku terasa membeku karena kaget. Aku tidak perlu menoleh ke samping untuk melihatnya. Anak lelaki itu pasti sudah lenyap. Kurasakan dadaku sesak, sementara air mataku mulai menetes.

“Maaf ya, nak. Kamu memang sudah pulang, tapi tidak lagi bersama mereka.”

Kadang-kadang, aku berharap aku bukan seorang cenayang …

  • Tamat –

(Ditulis untuk mengenang tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.