Perjalanan Senja Gadis Senja Perjalanan Senja Fika Menuju ke Kota Angkasa

Perjalanan Senja Fika Menuju ke Kota Angkasa


Kota Angkasa

“Fika? Fika. Bangun, sayang. Kita sudah sampai.”

Kubuka mataku. Pesawat yang mengantarkan Papa, Mama, dan aku ternyata sudah lama mendarat. Kulihat para penumpang lain sudah berkemas-kemas. Mereka bangkit dari kursi dan mengambil bawaan masing-masing, termasuk yang ada di kompartemen di atas kepala kami.

Kubawa ranselku satu-satunya. Isinya hanya tiga potong pakaian favoritku, satu buku dan bolpoin, dan ponsel. Tak lama kemudian, kami sudah turun dari pesawat. Aneh. Bandara Kota Angkasa, ibukota baru tempat kami akan menetap, kok sepi?

Bukan, bukannya tidak ada orang sama sekali. Para petugas bekerja dengan tekun sekali dan hampir tidak bersuara. Selain itu, senyum mereka juga tipis-tipis saja. Jutek enggak, ramah banget juga enggak. Pokoknya sedang-sedang saja.

Semuanya memakai pakaian serba putih. Begitu pula supir mobil yang kemudian menjemput kami. Katanya, kami akan diantarkan ke rumah yang bagus sekali.

Sebenarnya, aku kangen dengan rumahku yang dulu. Tapi, kata Mama sudah tidak mungkin tinggal di situ. Kami harus pindah, sesuai mandat presiden. Kota lama itu sudah tidak layak lagi untuk dihuni.

Kunyalakan ponsel. Ada yang semakin aneh. Ponselku mati, padahal baterainya telah kuisi ulang sampai penuh. Mama yang melihatku langsung tersenyum lembut dan menyentuh tanganku.

“Nanti saja, sayang,” kata beliau. “Di sana nanti ada yang jauh lebih seru dari ponselmu.”

Benarkah? Kusimpan kembali ponselku di dalam tas. Untuk membunuh kebosanan, kusandarkan kepalaku ke kursi. Entah kenapa, aku kembali tertidur. Rupanya perjalanan jauh membuatku kembali jatuh tertidur. Rupanya perjalanan jauh membuatku lelah sekali…

-***-

Hhh…semoga setelah perjalanan panjang ini, aku sudah tidak perlu naik pesawat lagi. Bukan apa-apa, aku sebenarnya takut terbang. Setiap kali harus bepergian, Mama selalu memberiku obat tidur agar aku terlelap. Bila tidak, bisa-bisa aku terus menangis ketakutan sepanjang penerbangan.

Cuma, sepertinya pengaruh obat itu mulai agak berkurang. Meskipun masih terlelap, lamat-lamat kudengar banyak yang menjerit dan menangis. Mungkin aku hanya mimpi buruk. Kurasakan tubuhku sedikit terguncang. Mama menyentuh wajahku sambil berbisik di sela-sela isak tangisnya:

“Fika…Mama dan Papa sayang kamu…”

Sayang sekali, aku sulit membuka mata. Aku malah kembali terlelap semakin dalam…

-***-

“Selamat datang di Kota Angkasa!”

Lagi-lagi kami disambut oleh para manusia berpakaian serba putih dan berwajah rupawan. Mereka juga ramah-ramah, jauh lebih ramah daripada petugas di bandara tadi.

Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa sangat bahagia. Aku sudah lupa dengan ranselku dan seisinya. Tempat ini sangat indah. Begitu hijau dan asri. Bebas polusi. Mata air mengalir tanpa henti. Warnanya putih susu…

Mama benar. Sepertinya aku akan betah di sini…

-***-

Banyak pasang mata menatap kasihan pada gadis remaja itu di kursi roda. Gadis itu tersenyum-senyum sendiri.

Banyak media yang terus meliputnya, menyebutnya sebagai keajaiban. Bagaimana tidak? Fika satu-satunya penumpang yang selamat dari kecelakaan pesawat itu.

Sayang, trauma dan cedera kepala telah mengubah Fika selamanya. Dia hanya bisa tersenyum, namun diam seribu bahasa.

Fika tak lagi bisa bercerita…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.