Site icon Perjalanan Senja

Your Angry Tweets Come True

Andita:

“Twitter, please do your magic…”

Oke, berapa banyak yang nge-twit kalimat di atas? Sudah pasti, aku salah satunya. Tapi, aku menulis dan nge-twit begitu bukan karena mau minta uang atau berharap akan keajaiban.

Banyak hal di dunia ini yang bikin aku muntab. Serius. Makanya, kadang aku suka menyelipkan caption seperti itu saat nge-twit.

Mulai dari mana, ya? Ah, yang sederhana saja. Setidaknya, aku masih tahu diri untuk tidak membocorkan insiden rumah tangga keluargaku sendiri. Sori, begini-begini aku masih punya batasan. Aku tidak mau sampai dilaknat Mama hanya gara-gara mengumbar aib orang serumah di dunia maya.

Jujur, banyak orang di dunia ini yang membuatku jengkel. Tetangga yang hobi bertanya-tanya alasanku pulang malam setiap hari kerja. Terus mereka juga suka kepo saat melihatku jalan bareng teman lelaki yang masuk kategori ‘bule’ atau ‘ekspat’.

Lalu curhat teman-temanku tentang orang-orang brengsek yang bikin mereka terluka. Entah itu pacar, teman, rival, anggota keluarga, besan, sebut sajalah namanya. Itu bahkan belum sampai menyentuh kancah politik.

Masih ada rekan kerja toxic, yang entah kenapa suka melakukan bodyshaming padaku – di depan umum pula. Memangnya apa urusannya dengan berat badanku? Toh, aku juga nggak membayar dia buat jadi dokter pribadiku. Sayang uangnya, hehe.

Kalau soal politik sudah jangan ditanya lagi deh, ya. Awalnya aku sempat ikut terpancing dan posting twit marah-marah soal si A atau B. Sumpah, aku bahkan tidak mengaku mendukung politisi mana pun. Buatku, mereka semua sama saja. Manis di awal, busuk di akhir. Apalagi kalau sudah dapat maunya dan berubah serakah.

Eh, kok aku jadi main stereotyping begini, sih? Anyway, pokoknya aku paling sebal sama orang-orang yang hobi banget menyepelekan sesamanya. Apalagi, kalau mereka kebetulan juga kukenal. Bukannya aku nggak pernah ngomong langsung sama mereka, sih. Cuma, kadang mereka juga suka ngeyel kalau dikasih tahu.

Akhirnya, jadilah aku nyinyir binti julid di Twitter. Toh, banyak orang yang juga masih melakukannya. Memang biang rusuh sih, jadinya. Tapi, kalau aku memang benar, kenapa harus diam dan mengalah? Mereka dong, yang tahu diri sedikit jadi manusia. Bukan malah terus menghakimi sesamanya.

Kalau ada yang tanya pekerjaanku, aku kerja di periklanan sekaligus penulis lepas. Klienku? Rahasia, dong. Sama rahasia dan (sok) misteriusnya dengan nama akun Twitter-ku: @nonacablak_ . Hehe, bahkan foto profilku adalah seekor kucing betina yang sedang tampak marah menghadap kamera. Pas banget, ‘kan?

Bahkan, kadang aku sengaja pura-pura marah di Twitter biar dapat followers lebih banyak. Tahu sendiri ‘kan, orang Indonesia paling suka sensasi dan hobi nimbrung? Gak diminta atau dibayar pun, mereka rela kepo dan ikut campur urusan yang belum tentu ada kaitannya dengan mereka.

Namun, semua itu berubah saat seseorang yang tidak kukenal (memangnya siapa saja sih, followers-ku semua? Lebih banyak yang tidak kukenal, berhubung banyak kenalanku yang sudah muak semua dengan angry tweets-ku) suatu hari mengirimiku DM seperti ini:

“I can make all your angry tweets come true.”

Kulihat nama akun Twitter-nya: @hakimdigital . Kubalas DM darinya saat itu juga:

“Maksudnya?”

Ternyata dia juga sedang online: “Semua twit kemarahanmu. Akan kukabulkan.”

Aku hanya tertawa. Ini orang bercanda, ‘kan?

-***-

Biyan (Bianca):

Kalau ada orang dengan rekor angry tweets terbanyak yang kutahu, hanya ada satu nama di benakku: Andita Namira. Yap, sahabatku sendiri sejak kuliah.

Awalnya, kukira dia hanya bereksperimen dengan akun Twitter-nya. Maklum, dia penulis yang sangat kreatif. Dulu pernah dia disewa salah satu publisher untuk bikin tautan kisah nyata horor yang sempat kukira pengalamannya sendiri.

Ternyata, Andita dibayar untuk mempromosikan novel horor orang lain. Kalau dipikir-pikir, kenapa dia tidak bikin novel sendiri saja, ya? Dia ‘kan, penulis berbakat. Menurutku, buang-buang waktu, tenaga, dan bakat saja dia marah-marah terus di Twitter akhir-akhir ini.

“Kadang aku capek sama hidup, Bi,” Andita pernah mengaku padaku. Cewek chubby berambut ikal gelap sebahu itu cemberut saat kutegur. “Jadilah aku marah-marah terus di Twitter akhir-akhir ini.”

Aku tahu, sesungguhnya aku bisa saja berhenti follow akun Andita kalau mau. Tapi, ada sedikit rasa tidak tega, meskipun muak luar biasa membaca semua twit marah-marahnya di laman. Maksudku, okelah. Hidup memang penuh dengan orang-orang brengsek, tapi ‘kan juga ada yang baik. Masa hanya fokus yang negatif terus, sih?

Aku paham Andita kesal dengan yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Mulai dari novel horor perdananya yang tidak selaris harapan, hingga pacar terakhirnya yang memutuskannya tanpa kejelasan. Main blokir semua nomor ponsel dan media sosialnya, sehingga Andita tidak bisa melacaknya. (Toh, Andita sendiri juga ogah.)

Baca Juga

Makanya, aku mute Twitter-nya setiap 100 hari sekali. Lumayanlah, untuk mengurangi pegal-pegal mata dan hati setiap kali membaca beberapa twit-nya yang ‘aseli ngajak berantem sejuta umat’ – meskipun kadang Andita ada benarnya juga, sih:

“Apa pun motifnya, saat masih cari-cari perbandingan dengan orang lain meskipun mengaku hidup sudah berkecukupan, pasti kamu masih belum bahagia.”

“Nggak suka cewek ber-makeup? Jangan bisanya cuma nyinyir hanya karena cintamu pernah ditolak cewek yang kebetulan suka makeup. Daripada ngurusin mereka, kenapa nggak urusin wajah sendiri dulu?”

“Kecuali kamu dokter gizi yang mereka bayar, nggak usahlah komentar soal berat badan mereka.”

Tapi, banyak juga twit bikinan Andita yang agak mengerikan:

“Twitter, do your magic. Temukan pacar brengsekku dan jangan biarkan dia hidup tenang.”

“Ingin selamanya membungkam mahluk itu di kantor biar nggak kepo soal berat badan orang lain terus.”

“Buat semua pelaku catcalling di dunia ini, semoga lidah kalian disemur. Toh jauh lebih berguna daripada dipakai melecehkan perempuan terus.”

Seperti yang sudah kubilang, aku paham perasaan Andita. Meskipun dia benar, cara ini justru akan menyulitkannya. Bagaimana kalau ada yang membaca semua twit-nya, lalu memutuskan untuk mengabulkan semua permintaan sambil lalu-nya di sini? Apalagi kalau orang itu kebetulan juga sangat mengenal Andita.

Siapa? Aku? Ah, mana punya waktu aku untuk hal-hal seperti itu? Kerjaku sebagai guru sekolah sudah cukup sibuk dan melelahkan. Lagipula, meskipun tidak setuju dengan Andita, sebisa mungkin aku tidak mau ikut campur. Kami sudah sama-sama dewasa dan tahu risiko perbuatan masing-masing. Aku yakin dia siap bertanggung jawab.

Makanya, aku tidak begitu kaget saat Andita tiba-tiba curhat soal masalahnya. Aku sudah pernah menasihatinya agar tidak meladeni orang-orang aneh di internet. Lagipula, salah sendiri akunnya di-set ke public. Demi popularitas semu malah membahayakan diri sendiri.

“Biyan, katanya dia serius dengan janjinya.”

-***-

Andita:

“Memangnya kamu tahu siapa saja yang sudah bikin aku marah? ‘Kan aku nggak pernah menyebutkan nama.”

“Tahulah. Aku yakin, kamu pasti senang kalau setidaknya satu saja dari mereka ada yang mati. Misalnya: mantan pacarmu.”

Oke, sepertinya aku sudah gila. Mengapa aku ladeni orang aneh ini? Seharusnya kublokir saja dia sekalian. Tapi dasar penasaran (sekaligus sedang bosan), aku malah terus membalasnya saat sempat:

“Oke, misalnya kamu mengabulkan permintaanku, apakah aku harus membayarmu dengan sesuatu? Aku nggak punya uang banyak.”

Lama dia tidak membalas. Ada kali, sekitar lima menit. Malam itu, baru saja aku hendak meletakkan ponselku di atas meja dan tidur, ketika pesan berikutnya nyaris bikin aku ngakak:

“Aku hanya mau kamu menjadi pasanganku seumur hidup.”

Permintaan yang aneh. Gaya bahasanya juga kaku banget, sih? Entah siapa Hakim Digital ini. Mungkin Biyan bener, ini hanya kerjaan orang iseng. Meski demikian, rasa penasaranku mengalahkan kewaspadaanku.

“Darimana kutahu kamu bisa mengabulkan semua twit marah-marahku? Aku bahkan nggak mau kasih tahu siapa saja yang sudah bikin aku muntab.”

“Tenang. Aku tahu tanpa perlu dikasih tahu. Kamu tinggal tunggu. Kalau berhasil kukabulkan semua keinginanmu, berarti kamu harus mau jadi pasangan seumur hidupku.”

Wuih, pede banget ini orang! Karena aku percaya dia hanya iseng, akhirnya kujawab juga: “Iya, deh.”

Andai saja aku tidak terpancing dan lebih berhati-hati. Andai saja aku lebih mendengarkan Biyan dan langsung memblokir orang ini, tapi waktu itu aku tidak melakukannya. Tak peduli si Hakim Digital ternyata sudah lama follow akun Twitter-ku, meski tanpa profil dan biodata yang jelas. Bahkan, foto profilnya hanya latar hitam.

Hakim Digital menjanjikan hal absurd itu padaku saat Kamis malam (alias malam Jumat). Aku tidak begitu memikirkannya hingga saat masuk kerja hari Jumat. Kulihat banyak rekan kerja berkumpul dengan wajah mendung. Ada satu perempuan yang matanya berkaca-kaca, tampak akan menangis kapan saja.

“Kenapa?” tanyaku bingung. Mereka semua memandangku. Mbak Lina, salah satu kolega perempuan yang wajahnya seperti mau menangis, akhirnya bercerita:

“Fandi, Dit.” Oke, dia menyebut nama rekan kerja kami yang bagiku sangat menyebalkan. Coba, hari gini di lingkungan profesional, masih ada laki-laki yang tingkahnya kayak anak SMA ingusan, mengejek perempuan soal berat badan? “Fandi meninggal karena ada yang menabrak dia di jalan dengan mobil semalam.”

“Hah?”

Berita itu cukup mengagetkan, namun bertambah mengerikan saat kucek Twitter-ku. Hakim Digital mengirim DM berupa rekaman video pendek, satu foto, dan dengan tagline:

“Your angry tweets come true. Dia nggak akan ganggu kamu lagi di kantor.”

Awalnya, kukira dia hanya bercanda. (Yah, meskipun menurutku bercandanya juga sudah enggak banget, sih. Terlalu seram, bahkan untuk aku yang sebenarnya suka film horor.)

Namun, saat malam itu kutonton tautan videonya, aku bergidik.

Tampak Fandi melenggang santai ke luar dari rumahnya semalam, mungkin mau beli rokok atau apa di warung terdekat. Kamera menyorotinya dari sebuah mobil yang diparkir di luar rumahnya.

Oh, tidak.

Hanya butuh beberapa detik untuk mobil perekam itu untuk berjalan, mengebut, dan menabrak Fandi tanpa ampun. Tubuh kurus itu sempat melayang ke depan jendela mobil sebelum akhirnya jatuh ke samping.

Lalu, entah siapa yang memotret Fandi…yang sudah tergeletak di jalanan.

Berdarah-darah…tanpa nyawa…

Dengan tangan gemetar, kukirim pesan pada Biyan:

“Biyan…aku kena masalah.”

Exit mobile version