Site icon Perjalanan Senja

Sang Pencari Ketenangan

Kata mereka aku gila. Menurut mereka, aku sinting dan berbahaya. Tidak berperikemanusiaan. Sepatutnya aku diasingkan selamanya, demi kebaikan bersama. (Tunggu dulu. Kebaikan siapa maksudnya?) Tak boleh lagi aku berada di tengah-tengah manusia yang (kata mereka) lebih normal, bermoral, dan beradab. Lebih baik dan aman bagi mereka.

Mengapa? Tak banyak yang sudi menanyakannya. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan diri masing-masing. Mungkin juga tidak peduli. Lagipula, toh kisahku akan berakhir juga di tong sampah. Berita basi.

Mungkin juga mereka takut. Ya, takut dengan alasan di balik perbuatanku. Mungkin mereka ngeri menghadapi kenyataan bahwa ini bisa terjadi pada siapa saja. (Termasuk mereka, mungkin?) Lalu, bertambah lagi satu bukti dan alasan betapa tidak amannya dunia ini. Ruang gerak dan bernapas mereka perlahan menyempit. Paranoia pencipta claustrophobia di ruang terbuka. Sungguh ironis.

Karena aku, mungkin sekarang mereka sudah melirik was-was dan curiga pada setiap wajah yang mereka temui di tempat umum. Benak mereka mungkin akan disesaki pertanyaan-pertanyaan itu:

Ada berapa lagi yang sepertiku? Seberbahaya apa mereka? Adakah tanda-tanda yang harus diwaspadai?

Mengapa aku tidak menunjukkan tanda-tanda yang harus diwaspadai, sebelum semua terlambat?

Ah, selalu saja ada alasan untuk membebankan kesalahan pada pihak lain. Seolah cermin-cermin di kamar-kamar mereka dan gedung-gedung kantor dan mal hanya penunjuk keberadaan jasmani mereka. Tidak lebih. Dangkal. Parsial.

Ada juga yang ingin tahu alasan di balik perbuatanku. Kebanyakan tidak siap mental dengan jawabanku. Dengan gelar ilmu yang mereka banggakan, mulailah pencarian besar-besaran akan sesuatu di latar belakangku. Apa pemicunya? Ada trauma kekerasan masa lalu, mungkin? Mengapa gadis semanis itu bisa berbuat demikian?

Kubiarkan saja mereka berspekulasi dan menyimpulkan sesuka hati. Tinggal tunggu mereka menyerah dan kecewa.

Andai saja mereka mau berpikir sederhana. Sayang, manusia sering menyepelekan hal-hal yang (tampaknya) sederhana, sepintar apa pun mereka…

—– // —–

Sederhana? Hmm, mungkin tidak selalu. Banyak orang cenderung menyederhanakan masalah, hanya karena enggan menghadapi kesusahan. Mungkin juga mereka malas berpikir. Selama mereka (selalu merasa) aman dan tentram, persetan dengan orang lain. Lagipula, bukankah ruang publik milik bersama dan artinya semua pemakai harus saling bertoleransi?

Haha, argumen lucu dari orang munafik nan tengik. Seolah mereka sudah paling paham soal toleransi. Yah, setidaknya mereka amat paham dengan toleransi satu arah. Toleransi yang hanya menguntungkan mereka sendiri.

“Kamu terlalu perasa.”

Dengar, bahkan opiniku sudah disepelekan sebelum aku resmi menjadi ‘sampah masyarakat’. Hanya karena mereka memilih malas ribut untuk hal-hal yang bagi mereka tidak penting, meski sebenarnya menyangkut hidup mereka juga.

Dasar sial, akulah sang minoritas yang (menurut mereka terlalu) banyak bicara. Biang keributan, sumber gangguan. Mereka lebih suka aku diam, menurut, dan banyak mengalah. Sama seperti mereka. The silent manjority yang tidak menghasilkan apa-apa. Pihak yang pura-pura tidak terluka setiap bersinggungan dengan kekacauan. Apatis dan mati rasa.

“Kamu juga terlalu kaku.”

Sesederhana itukah? Memang apa salahnya mengikuti peraturan yang ada di ruang publik? Toh, yang untung juga mereka. Semua demi kebaikan bersama.

Ah, sudahlah. Percuma mendebat otak-otak bebal. Di mata mereka, tetap aku yang brengsek. Akulah jahanam yang harus (di)lenyap(kan) dari muka bumi, supaya mereka tenang kembali.

Tenang? Cobalah berinteraksi dengan mereka barang sehari. Kuharap kalian tidak perlu berakhir sepertiku. Lebih aman tetap menjadi seperti mereka, dengan banyak pengorbanan tentunya.

Contoh sederhana, saat memakai trotoar. Jangan harap pejalan kaki bisa melenggang santai di sini. Dalam tiap radius lima puluh meter, ada pedagang kaki lima hingga warung tenda. Tidak apa-apa, masih bisa ditolerir. (Kasihanilah mereka yang susah mencari lahan penghasilan.) Beberapa bagian trotoar rusak parah. Berlubang di sana-sini dan pecah-pecah. Kalau ada yang celaka gara-gara jatuh, gampang. Tinggal salahkan korban yang kena sial.

“Hati-hati, dong!”

“Makanya kalau jalan lihat-lihat!”

Seperti itu. Tidak ada empati. Tidak ada usaha bersama untuk mengurangi jumlah korban. Kalau pun ada, lebih sering disabot pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, yang mau enaknya sendiri. Dasar sial. Kemana uang pajak dari rakyat? Mengapa lebih cepat berubah jadi mal atau meluncur ke kantong koruptor?

Belum lagi ulah para pengendara sepeda motor saat macet menghabisi jalan. Gara-gara mereka, trotoar berubah fungsi jadi jalan raya tambahan. Persetan dengan pejalan kaki yang (sebenarnya) lebih punya hak di sana. Dengan seenaknya mereka mengklakson pejalan kaki agar sudi minggir. Kalau tidak? Bentakan ala preman kampungan hingga kekerasan terhadap pejalan kaki pasti terjadi. Argumen mereka selalu sama. Macet. Mereka terburu-buru. Harap maklum. Jangan reseh.

Jangan berharap pada hukum. Hanya yang punya uang banyak yang bisa membelinya. Benar-benar lelucon sinting yang memuakkan.

Sekali-dua kali, masih bisa kutahan-tahan emosiku saat berurusan dengan pengendara motor brengsek. Lama-lama aku jadi membayangkan macam-macam. Menghajar mereka dengan payung. Menyayat ban motor mereka dengan silet. Mendorong mereka sampai jatuh, lalu menendangi kepala mereka di balik helm – mengingat mungkin mereka sudah lama meninggalkan otak bebal mereka entah dimana. Bernegosiasi dengan mereka sama percumanya dengan mengajari kera dungu berbicara.

—– // —–

Jika mereka pernah punya guru PMP/PPKN/Ilmu Kewarganegaraan/apalah namanya, entah ajaran mana yang masih mereka ingat. Mungkin pada akhirnya, semua hanya tinggal wacana. Boro-boro dibaca, diingat pun tidak. Kasihan. Mungkin saja arwah-arwah para guru itu tengah gelisah di alam kubur. Kecewa dengan mantan murid-murid mereka yang seperti tidak pernah belajar apa-apa. Tidak tahu aturan seperti binatang tanpa akal. Tidak peduli tata-krama.

Entah kenapa, orang-orang ini sepertinya juga alergi mengantri. Saat membeli tiket, membayar di kasir supermarket, naik kendaraan umum. Sama saja. Seolah mereka akan mati karena serangan jantung jika (diminta) bersabar sedikit saja. (Setelah dipikir-pikir, mungkin ada baiknya juga bila mereka mati. Tidak bikin stres dan mengganggu orang lain yang masih mau tertib!)

Muak dengan segala dampak keegoisan manusia, kuputuskan untuk melakukannya hari itu.

Sore yang normal di hari Senin. Pas jamnya orang-orang kantor pulang. Bersama rombongan manusia lainnya, kutunggu bus TransJakarta dengan gelisah. Gerutuan mereka juga menambah resah. Harus buru-buru. Terlalu lama menunggu. Takut terlambat.

Sama. Sama. Sama.

Seperti biasa, yang kutakutkan selalu terjadi. Saat bus akhirnya datang, ada yang mulai mendorong antrian dari belakang di halte. Tak sabaran, takut tertinggal. Pintu bus terbuka. Yang mau keluar terhambat oleh yang merangsek masuk. Petugas pintu halte sudah berteriak-teriak menyuruh mereka tertib dan bersabar. Percuma. Mendadak semua orang seperti kehilangan telinga dan berubah jadi badak tuli. Kasar. Saling menghujat dan mendorong. Ada yang menjerit kesakitan karena terhimpit. Banyak yang jatuh. Tak ada yang peduli.

Saat seorang lelaki dengan kasar mendorongku ke samping, kesabaranku habis. Kurenggut pensil tajam dari kantong kemejaku dan kuhujamkan bagian tajamnya ke lengannya yang terbuka. Dia menjerit. Darahnya menciprat seketika. Perutku langsung mual, tapi aku tak berhenti.

Semua terjadi begitu cepat. Kata-kata makian sekarang bercampur dengan jerit-jerit ketakutan. Ada yang mendorong punggungku dan aku berbalik. Kutikam lehernya. Banyak yang mundur menjauhiku. Syukurlah. Akhirnya aku lumayan bisa bernapas.

Aku baru berhenti menikam-nikam saat tangan-tangan kekar dan kuat meringkusku. Ada yang memukul kepalaku.

Lalu, semuanya gelap…

—– // —–

“Kenapa kamu melakukannya?”

“Kenapa tidak?” tantangku pada lelaki tua bertampang terpelajar yang duduk di hadapanku. “Mereka tidak mau berhenti. Mereka bahkan tidak mau mencoba berubah lebih sabar. Mereka sudah terlanjur bebal. Saya hanya ingin bernapas. Saya hanya ingin tahu rasanya tenang dan berada di lingkungan teratur. Sehari saja.”

“Jadi itu solusinya?”

“Cara terakhir bila yang lain gagal.” Aku mengangkat bahu. “Bukankah manusia dengan jabatan tertinggi pun juga memakai cara yang sama untuk menyelesaikan masalah mereka?”

Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya membereskan kertas-kertas dan tumpukan mapnya sebelum pergi. Kurasa dia takkan cukup berani untuk kembali.

Setelah itu, aku sendirian dalam selku. Lihat, bahkan sesama penghuni takut padaku.

Tak apa. Setidaknya aku mendapatkan ketenangan di sini…

-selesai-

Exit mobile version