Perjalanan Senja Gadis Senja Pengakuan Mama Billy

Pengakuan Mama Billy


di wajah senja

Selamat datang. Masuklah.

Ya, aku tahu tujuanmu. Kamu sama saja dengan mereka. Kamu penasaran saat melihatku. Kenapa aku melakukannya? Kenapa ibu-ibu sepertiku melakukan hal sekeji itu?

Mereka masih saja membahasnya. Beritanya masih hangat – pelayan restoran yang dibunuh dengan brutal. Nggak butuh waktu lama untuk menangkapku, ‘kan?

Penasaran? Baiklah. Pertama, izinkan aku bercerita tentang seorang anak bernama Billy – dan terakhir kali kami makan berdua.

Mungkin kamu hanya akan menganggap Billy sebagai anak laki-laki biasa berumur sembilan tahun. Dia anak yang manis dan suka makan. Dia nggak pernah milih-milih makanan dan aku sangat menyayanginya. Selalu. Dia seluruh hidupku, terutama sejak suamiku meninggal.

Sayangnya, Billy menderita alergi. Seperti mendiang ayahnya, Billy alergi makanan laut. Dia harus berhati-hati, terutama saat kami makan di restoran. Beberapa kali ayahnya dan aku memesan menu khusus untuk Billy. Beberapa pelayan ada yang pengertian. Ada juga yang tidak. Menurut mereka, Billy terlalu dimanja. Harusnya dia berusaha agar tubuhnya lebih kuat.

Kadang aku benci dengan pelayan yang nggak pedulian. Mereka selalu terburu-buru dan nggak pernah mau mengulangi membaca pesanan pelanggan. Bukan salah Billy kalau dia alergi.

Siang itu, aku telah meminta secara khusus agar jangan ada makanan laut pun di sayuran yang dipesan khusus untuk Billy. Mungkin ini salahku juga, karena waktu itu sedang ramai dan sepertinya semua orang sedang terburu-buru. Sudah nggak sempat lagi mengejar pelayan dan memintanya untuk membaca ulang pesanan kami.

Selain itu, ternyata aku harus ke kamar mandi.

“Mama ke kamar mandi dulu ya, sayang?” Billy hanya mengangguk dan tersenyum, seperti biasa setiap kali kuminta izin. Lagipula, toilet cukup dekat. “Inget, ya. Jangan ladeni orang asing. Teriak kalo ada yang berani nyentuh kamu. Dan…”

“Jangan makan apa pun yang ada seafood-nya.” Billy mengangguk lagi. “Oke, Mama. Aku ngerti.”

“Bagus.” Kucium dahinya sebelum pergi ke toilet. “Mama nggak akan lama, sayang.”

Setelah itu, semuanya berlalu dengan cepat. Aku sudah berusaha secepat mungkin untuk kembali. Saat tiba, semua orang sudah berkerumun, mengelilingi Billy yang sudah terkapar di lantai dengan tubuh mengejang. Wajahnya memerah, matanya menyorotkan rasa takut dan kesakitan. Mereka tidak tahu cara menolongnya.

“BILLY!” Waktu itu aku menjerit dan langsung menghampirinya. Aku mencoba memukul punggungnya sementara ada yang menelepon ambulans. Aku berusaha untuk memberikannya pil, namun dia sudah tidak bisa menelan lagi.

Terlambat. Saat ambulans akhirnya tiba, Billy sudah tidak bergerak lagi. Napasnya terhenti.

Saat aku memeriksa sayurannya yang baru termakan sebagian, aku menemukan sejumlah udang kecil di baliknya. Padahal, aku sudah memperingatkan pelayan agar tidak menghidangkannya.

Manajer restoran memberiku kompensasi, namun aku tidak menginginkan uangnya. Aku hanya ingin pelayan ceroboh itu dipecat, namun mereka tetap mempekerjakannya.

Jadi, aku membunuhnya malam itu, saat dia pulang kerja…

Aku sadar, Billy takkan kembali. Namun, semoga manajer restoran itu bisa belajar dari sesuatu. Seperti halnya denganku.

Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.