Perjalanan Senja Gadis Senja Papa, Aku dan Senja Itu….

Papa, Aku dan Senja Itu….



Ini liburan terakhirku dengan Papa. Seharusnya beliau mau tinggal lebih lama.

Kami berdua berdiri di pantai dalam diam, memandang matahari terbenam. Cahaya jingga yang hangat dan lembut itu menyinari kami. Laut yang membentang tenang tanpa golak, berwarna biru-kehijauan – dengan sedikit kilau keemasan karena tertimpa sinar matahari sore itu.

Singkat cerita, Papa dan aku begitu menikmati kesunyian, sekaligus pemandangan indah yang langka di depan mata. Seperti lukisan. Tak peduli dengan orang-orang yang sesekali lewat, memandangi kami dengan beragam air muka. Ada yang tampak takjub, ada yang bingung. Entah mengapa. Mungkin karena aku dan Papa begitu mirip, meskipun aku anak perempuan. Kami sama-sama pendek dan gempal, meskipun rambutku ikal gelap.

Kupandangi Papa. Wajah beliau tampak tenang sekali, tersenyum mengagumi sunset. Entah kenapa, mendadak beliau jadi tampak begitu awet muda. Rasanya ada yang aneh.

“Yuk,” ajak beliau tiba-tiba. Digandengnya aku. “Kita ke parkiran. Kamu sudah ditunggu sama Mama dan yang lainnya.”

***

Langit menggelap saat kami beranjak ke parkiran. Jingga keemasan perlahan menghilang. Avanza hitam itu ada di sana, sendirian di parkiran. Mama dan Adik Lelaki keluar dari mobil. Kakak Perempuan masih di bangku belakang bersama anak-anaknya – cucu-cucu Papa.

Mendadak tanganku terasa dingin. Saat menoleh, ternyata Papa sudah tidak ada. Kemana? Mataku masih liar mencari-cari, sebelum Mama yang sudah dekat berhenti di depanku, bertanya dengan nada menuntut:

“Kamu habis dari mana?”

Sekarang, dadaku sesak. Air mataku tumpah dan aku terduduk lemah. Mama jadi ikutan menangis dan duduk di depanku. Beliau meraih tanganku, sementara samar-samar kudengar suara panik keponakanku dari dalam mobil itu:

“Mama, Bibi kenapa?”

Kuceritakan semua yang kulakukan dengan Papa sore itu. Entah kenapa, pertanyaanku berikutnya terdengar bodoh:

“Mama, kenapa Papa nggak mau ikut kita lagi?”

Mama tersenyum sedih, masih dengan air mata mengalir.

“Kamu lupa, ya? ‘Kan Papa sudah tidak bisa.”

Dan aku terbangun. Kulirik kalenderku dan mendesah.

Seratus hari sepeninggal Papa…

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.