Perjalanan Senja Gadis Senja Music of My Heart – Fiksi by Gadis Senja

Music of My Heart – Fiksi by Gadis Senja


music of my heart

“Aku nggak mau pake itu.”

Kutatap alat bantu dengar itu di tangannya, kado ultah dariku. Lalu, kutatap dia dengan heran dan sedikit…kecewa.

“Kenapa, Adrian?”

“Nggak mau aja.” Diletakkannya kembali alat bantu dengar itu ke dalam kotak, sambil tetap menatapku. Wajahnya tampak serius, masih sambil memegang kotak itu.

music of my heart

“Kamu…kesinggung?” tanyaku hati-hati. Aku bahkan berbicara sepelan mungkin, agar dia dapat membaca gerak bibirku.

Adrian tersenyum dan menggeleng. Mata gelapnya melembut.

“Nggak, kok,” ujarnya kalem. Disentuhnya bahuku dengan lembut. “Dahlia, kamu pernah dengar istilah ‘selective hearing’?”

“Hah?” Aku kaget dengan pertanyaan itu, sehingga mengerutkan kening. “Ya, tapi apa hubungannya dengan…alat bantu dengar ini?”

“Lihat sekitarmu, deh.” Aku menurut. Kami melihat dua orang bertengkar. Anak-anak memekik. Ada yang memutar musik keras yang sangat mengganggu – atau suara-suara dentum tak beraturan yang mereka sebut musik. Dan masih banyak lagi hari itu…

“Awalnya, kukira kehilangan pendengaran berarti akhir dari segalanya,” Adrian melanjutkan. “Butuh waktu buatku untuk melihat bahwa ternyata ada untungnya juga. Beneran, lho.”

“Kamu bisa memilih mana yang kamu mau dengar – dan mengindahkan yang lainnya,” aku sepakat, sementara tanganku dengan tangkas menerjemahkan ucapanku sebagai bahasa isyarat untuknya.

“Begitulah.” Dia memandangku dengan senyum itu lagi. “Aku akan memakainya bila mau.”

—***—

Aku pulang, meski masih dengan sedikit perasaan kecewa. Hanya sedikit, sih. Setidaknya, pacarku membawa pulang kotak berisi kado itu.

Sejak kecelakaan waktu menyelam, Adrian kehilangan pendengarannya. Makanya, saat dokter menyarankan agar dia mulai menggunakan alat bantu dengar, kubelikan saja untuk kado ultahnya.

Oke, mungkin aku kedengaran norak, tapi aku ingin suaraku-lah yang pertama kali didengarnya saat memakai alat bantu dengar itu.

Kuhela napas dan beranjak ke piano. Yah, sudahlah. Mungkin dia masih harus menyesuaikan diri dengan alat tersebut. Seharusnya aku nggak terlalu memaksa.

Malam itu, kuselesaikan komposisi musik terbaruku. Aku perlu berlatih dan mempersiapkan diri untuk resital piano berikutnya…

—***—

Malam itu, aku benar-benar bahagia. Mereka tidak hanya bertepuk tangan, tapi juga berdiri untuk memberi penghormatan.

Mereka menyukai komposisi terbaruku – “Music of My Heart” oleh Dahlia Rahmadian.

Di antara penonton, kulihat orang tuaku dan…sebentar.

Adrian?!

Sejak kecelakaan itu, dia sempat belum menonton pertunjukanku lagi. Aku mengerti; dia benci. Dia benci melakukannya, karena mengingatkannya akan apa yang telah hilang setelah kecelakaan itu.

Setelah itu di belakang panggung, kami saling bertatapan di antara kerumunan. Sempat kuterima pelukan dan ucapan selamat dari semua orang sebelum akhirnya kami mendapatkan sedikit privasi.

Dan ya, akhirnya dia memakai alat bantu dengarnya malam itu. Dia nggak hanya tersenyum; wajahnya juga tampak bercahaya.

“Seperti yang sudah kubilang,” ucap Adrian. “Aku cuma memakainya saat aku mau.”

“Kenapa?” Sesungguhnya aku sudah tahu, namun masih ingin mendengar langsung dari mulutnya.

“Aku memilih mendengarkan yang indah-indah saja,” ujarnya serius, sambil menatap mataku dalam-dalam. “Seperti musikmu…dan suaramu.”

di bawah dua senja - fiksi by Gadis Senja

Oh. Rasanya tenggorokanku tercekat, namun aku enggan menangis. Jangan di sini, jangan sekarang.

“Aku merindukan musikmu…dan suaramu.”

Kuraih tangan hangatnya. Kami pun bergandengan, sementara kutatap balik matanya. Senyumku terkembang.

“Baguslah.” Kudekatkan wajahku, hanya agar dia bisa membaca bibirku… dengan jelas sekali. “Komposisi barusan untukmu… karena kamu selalu menjadi musik di hatiku.”

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.