Site icon Perjalanan Senja

Mrrreeeooouuuwww!

Mrrreeeooouuuwww!

Foto: unsplash.com

Summer namanya. Pertama kali aku melihatnya adalah saat dia berada di gendongan Mas Hari malam itu. Tubuhnya tampak kecil, ringkih, dengan bulu-bulu cokelat muda yang masih tipis.

Wajah mungilnya berbentuk seperti segitiga, dengan dagu ramping dan telinga runcing. Mata biru-kelabunya menyorot was-was padaku sambil menggelendot pada tuannya, gemetar mencari perlindungan.

Wajahnya cokelat gelap, nyaris hitam – sangat kontras dengan bagian tubuhnya yang sewarna karamel hingga ke ekornya yang jigrak bak kemoceng mini. Hanya kaki-kakinya yang segelap wajahnya.

Kucing ras Siam. Lucu banget, pikirku saat pertama kali melihat Summer. Mas Hari, pemiliknya, adalah seorang lelaki bujang bertato yang tinggal di lantai dua kosan kami.

Kamarku sendiri ada di lantai tiga.

“Dia masih agak takut-takut kalau sama orang,” kata Mas Hari waktu itu. Dielusnya kepala Summer dengan penuh sayang, sementara si kucing makin manja di pelukannya. “Tapi ntar lama-lama juga terbiasa, kok.”

Malam itu, aku hanya sempat mengelusnya sebentar. Lalu aku masuk ke kamar.

-***-

Beberapa bulan kemudian, aku melihat Summer lagi. Malam itu aku baru saja pulang kantor dan langsung ke kosan. Ketika kututup pintu depan, kudengar meongan lembut dari lantai dua.

“Meong…meoong…”

Aku menoleh dan tercengang sesaat. Astaga, makan apa saja itu kucing? Tidak hanya bertambah besar, Summer juga semakin…gendut.

“Hi, baby,” sapaku sambil membungkuk dan mengelus kepalanya yang mungil. Bulunya halus dan lembut. Summer mendengkur, sambil sesekali menggosok-gosokkan tubuhnya ke tungkaiku.

Lalu dia berguling di dekat kakiku. Ingin kubelai lagi kepalanya, namun urung tatkala kaki depannya terulur seperti ingin mencakar. Kurasa Summer menganggap tanganku ini target mainan yang menarik baginya.

“Dia suka manja kalau sama perempuan,” kata Mas Hari tiba-tiba. Aku mendongak dan dia tertawa. Mendengar suara lelaki itu, Summer langsung berbalik dan menghampiri majikannya.

Tidak sampai semenit, kucing Siam itu sudah kembali dalam gendongan Mas Hari. Sekarang dia sibuk bermain-main dengan telunjuk lelaki itu, mencakar-cakar dan menggigitnya sambil lalu.

“Berapa umurnya, Mas?” tanyaku ingin tahu. Seingatku, kucing tumbuh lebih cepat daripada manusia.

“Empat bulan,” jawab lelaki bertato itu sambil terus menggaruk-garuk kepala Summer dengan lembut. Summer mendengkur kesenangan. “Ini dia gede karena makannya juga banyak.”

“Oooh…”

-***-

Sejak itu, aku punya kebiasaan baru di kosan. Setiap kali melewati lantai dua, aku selalu berhenti sejenak untuk memanggil-manggil:

“Summer…Summer…”

Kadang suka ada meongan nyaring dari kamar Mas Hari. Kadang hening, yang bisa berarti dia kemungkinan: Summer lagi tidur…atau dibawa Mas Hari ke dokter hewan atau semacamnya.

Sayangnya, tidak semua penghuni kosan itu suka kucing. Dua perempuan yang kamarnya di depan kamarku selalu mengernyit geli saat melihat kucing itu. Salah satu bahkan pernah mengeluh dengan muka jutek:

“Iiih, ini kucing ngapain sih, ada di sini? Emang boleh sama yang punya kosan?”

Kata Mas Hari, di lantai dua juga ada yang nggak suka dengan kucing. Bukan hanya nggak suka, tapi juga takut. Pernah orang itu melihat Summer dan langsung menjerit seperti karakter film horor melihat hantu.

“Lebay, ah,” komentar Mas Hari dengan ekspresi sebal. Aku tertawa.

“Mungkin dia trauma kali, dulu pernah punya pengalaman buruk dengan kucing.”

“Kali.” Mas Hari mendengus, tampak acuh.

-***-

Aku sendiri sangat suka kucing. Meskipun tidak mungkin lagi memelihara sendiri gara-gara alergi, sebisa mungkin aku menyempatkan diri bermain dengan kucing peliharaan orang lain.

Ya, termasuk Summer-nya Mas Hari. Kadang dia suka kepo dengan belanjaanku. Pernah baru saat kuletakkan kantong belanjaan di atas meja kopi untuk menutup dan mengunci pintu depan, Summer langsung menghampiri.

Seperti anak kecil penasaran, dia langsung inspeksi belanjaanku.

“Hei,” tegurku kaget. Untung tidak lama. Summer kemudian menatapku. Wajahnya tampak kecewa.

“Meong…”

“Nggak ada buatmu, sayang.” Aku hanya tertawa sambil mengelus kepalanya.

-***-

Sampai suatu sore, ada kejadian aneh terkait dengan Summer.

Waktu itu menjelang Magrib dan hari Sabtu. Aku baru saja pulang dari sekolah tempatku mengajar les Bahasa Inggris. Seperti biasa, setibanya di lantai dua, aku mulai memanggil-manggil:

“Summer…Summer…”

Biasanya, kucing itu akan balas menyahut. Bila tidak, kemungkinan Summer sedang tidur atau dibawa keluar oleh Mas Hari.

“Summer?”

Hening sesaat. Tahu-tahu yang kudengar malah ini:

“Mrrreeeooouuuwww…sssh…”

Hah? Kutempelkan telingaku ke jendela kamar Mas Hari. Dari luar, kulihat tirainya tertutup rapat. Lampunya mati. Mas Hari mungkin sedang keluar.

Awalnya, kukira aku hanya mengkhayalkan suara itu. Namun, kemudian suara itu terdengar lagi dan cukup bikin kaget:

“Mrrreeeooouuuwww…sssh…”

Oke, sekarang aku mulai bergidik. Suara itu nggak kayak meongan lembut Summer sama sekali. Lebih berat, dalam, dan…terdengar marah.

Apa Mas Hari kucingnya ada dua, ya? Tapi, kalau begitu, aku pasti sudah tahu dari dulu. Mas Hari tahu aku sangat suka kucing.

-***-

Malamnya, saat melihat Mas Hari di dapur lantai tiga (yang juga satu-satunya, alias komunal), kuhampiri dia. Kutanya: “Mas, selain Summer, Mas masih punya satu kucing lagi?”

“Hah?” Mas Hari yang sedang mengaduk saus spaghetti memandangku dengan ekspresi bingung. “Enggak, kok. Summer doang.”

“Oh.”

“Emangnya kenapa?”

“Tadi sore Summer di kamar?”

“Hah, enggak.” Lelaki bertato itu menggeleng. Kini dia semakin bingung. “Tadi gue bawa Summer ke dokter hewan. Biasa, regular checkup.”

Terus, kucing siapa yang Magrib tadi mengeong dan mendesis marah di kamar Mas Hari saat kupanggil-panggil?

Mendadak aku bergidik lagi, karena teringat nasihat Mama dulu soal Magrib. Jangan suka berisik atau berlaku aneh-aneh saat Magrib, karena biasanya…

Duh, aku cerita ke Mas Hari nggak, ya?

Exit mobile version