Site icon Perjalanan Senja

Merindukan Senja yang Bercerita

senja bercerita

Berlawanan dengan mayoritas manusia yang kukenal di zaman itu (dan mungkin juga sekarang), hidupku sebenarnya baru dimulai menjelang senja. Ya, setidaknya itulah pendapatku saat mulai berusia belasan tahun.

Bagaimana tidak? Seperti anak-anak lainnya, kegiatanku dari pagi hingga menjelang sore seragam. Bangun pagi. Mandi dan sarapan (yang bergizi). Lalu ke sekolah dan belajar sepanjang hari. Ya, setidaknya hari Minggu libur. Hanya satu hari itulah aku bisa relatif suka-suka sepanjang hari.

Di saat-saat seperti itulah aku baru merasa benar-benar ‘hidup’. Bukannya lantas keluyuran di luar rumah tanpa henti, hingga harus diteriaki untuk pulang saat Magrib tiba.

Aku hanya di rumah. Aku tumbuh bersama George Kirrin dan ketiga sepupu serta anjing peliharaannya. Terbangun malam-malam untuk melihat Ryan Dallion dan sepupu serta sahabat tua mereka berburu barang-barang keramat. (Untuk yang satu ini, aku sempat kucing-kucingan dengan Mama sebelum beliau akhirnya menyerah.) Berkhayal tinggal di apartemen berisi tetangga-tetangga rupawan bak boneka Ken dan Barbie berjalan di Melrose Place. (Ini juga sempat bikin Mama was-was.)

Senja Bercerita

 

Ya, entah kenapa dunia nyataku malah sempat membosankan. Lebih banyak duduk seharian dan menghapal nama-nama, rumus, dan sebangsanya, ketimbang berdiskusi atau membuat sesuatu. Pelajaran Bahasa sempat terasa menarik, sebelum gurunya tahu-tahu mulai lebih banyak mengajak kami untuk fokus pada tata bahasa dan karya ilmiah yang kaku dan serius. Tidak ada lagi fiksi dan puisi.

Semakin bertambah usia, senjaku berubah. Waktu sekolah yang semakin panjang. Jam kuliah yang tidak tetap. Begitu pula kesibukan kerja yang seakan tiada habisnya.

Lalu, aku mulai merindukan senjaku. Senja sepi, duduk sendiri dengan secangkir kopi dan setidaknya satu novel untuk membawa benakku kabur sejenak dari sini. Acara TV. Buku tulis, pensil, atau pulpen untuk menulis puisi atau fiksi.

Bagaimana caraku untuk mendapatkan senjaku kembali?

Mau tidak mau, akhirnya aku harus berkompromi. Ada waktu yang bisa kucuri-curi. Break antara jadwal mengajar. Saat menunggu redanya kemacetan. Lebih produktif dari hanya diam. Lebih baik daripada hanya mengeluh bosan atau bergosip ke semua orang. Sudah terlalu banyak yang begitu, jadi sebisa mungkin aku enggan ikutan.

Ya, ada kalanya senja yang dulu akhirnya bisa kudapatkan kembali. Tidak setiap hari, namun masih lebih baik daripada tidak sama sekali…

 

Exit mobile version