Site icon Perjalanan Senja

Kopi tanpa Gula

kopi tanpa gula

Aku kembali melihatnya di tempat yang sama dengan setahun lalu, saat pertama kali bertemu dengannya. Coffee shop cozy di bilangan Jakarta Selatan. Dengan senyum khasnya, dia menghampiriku yang sedang sibuk dengan sebuah buku karya terbaru Dewi Lestari.

“Maaf telat. Macet.” ujarnya seraya memasrahkan dirinya pada pelukan kursi empuk coffee shop itu. “Capeknya….”

“Gak apa. Dah biasa juga kan.” Aku menampilkan sederet gigiku yang tak rapi itu dan meletakkan buku yang kubaca di meja. Dia melihat buku itu sekilas.

“Baru baca? Tumben, biasanya dah melahap saat buku itu terbit pertama kali.”

“Ya maklum. Namanya juga baru balik dari luar. Mana bisa beli buku itu di sana.” Aku pun menyeruput cappucinno pesananku yang tanpa gula.

Dia memang terlihat letih, namun lebih segar dibandingkan terakhir aku bertemu dengannya. Lebih berisi, apalagi dengan balutan batik warna cerah yang sekarang dikenakannya itu. Batik itu benar-benar membuat dirinya bersinar.

Tanpa ijin, dia mengambil cangkir cappucinno yang aku pesan dan menyeruputnya. Tak lama kemudian dia mengernyitkan dahinya.

“Pahit. Gak pakai gula?” Dia segera mengambil gelas air putih yang memang selalu aku minta setiap menikmati kopi, di manapun itu.

Aku tertawa mendengarnya dan menganggukkan kepalaku.

“Bukan dirimu banget. Aku ingat kamu ini penyuka manis. Kenapa jadi seperti ini?”

Semua karena dirimu. Aku merubah kebiasaanku secara total, karena dirimu.

***

“Maaf ya… aku terlambat. Jalanan macet banget tadi.” Dia langsung mengambil posisi di sampingku. Mengambil gelas kopiku, Machiato, dan segera menyesapnya.

Sebuah senyum terukir pada bibir merahnya yang agak memudar. Sepertinya dia tidak sempat berdandan sebelum bertemuku.

“Gak apa kok. Kan ini juga dadakan kan? Aku yang mengajak kamu bertemu kan?” ujarku seraya memanggil pelayan coffee shop. “Kamu belum makan kan? Gimana kalau kita pesan makan dulu.”

Pelayan datang dengan membawa menu ke meja kami. Setelah mencatat pesanan, pelayan itu pun meninggalkan kami berdua.

Dia, Anggita, adalah seorang Personal Management Consultant di bank swasta ternama di Indonesia ini. Kami berkenalan via aplikasi chatting.

Entah kenapa, nickname yang digunakannya saat itu, PMwoman, menarik perhatianku dan segera kami terlibat dalam percakapan.

Malam itu kami menghabiskan waktu saling mengenal satu sama lain. Tak terasa 5 jam kami chatting hingga jam 3 pagi. Untungnya keesokan harinya bukan hari kerja. Setelah seminggu chatting yang juga terkadang berbalas pesan melalui sms atau BBM, aku pun memberanikan diri mengajaknya bertemu.

Pesanan kami datang di saat aku ingin mengucapkan sesuatu. Dia tidak menyadari itu. Segera dia mengeluarkan handphonenya dan mengambil foto makanan pesanannya itu.

“Makananku mau difoto juga?” tanyaku, seraya meledek sebenarnya.

“Iya… mau donggg.” jawabnya dengan penuh semangat. Dia pun segera mengarahkan handphonenya dan mengambil foto makananku. Tak lama dia pun sibuk dengan handphonenya itu, yang kuduga adalah sedang upload ke sosial media.

Aku tertawa melihat kelakuannya itu. Dia pun menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan kesal.

“Kenapa ketawa?” Handphonenya itu pun diletakkan di sebelah makanannya. Dia segera menyuapkan spagheti pesanannya itu.

“Sorry… sorry. Habisnya kamu tuh sama seperti anak-anak alay lain. Sebelum makan pasti foto, terus upload deh, entah ke Path, Twitter, FB atau Insta, ditambah dengan hastag-hastag geje.”

“Emangnya gak boleh ya? Emangnya itu mengganggu ya? Lain kali gak usah nawarin untuk difoto kalau gitu.” Walau masih menyantap makanannya. Sangat terlihat kalau dia sedang marah besar.

“Bukan gitu…. Duh kan, salah akunya. Maaf. Beneran maaf. Jangan marah dong. Kasihan itu makanannya kalau dimakan sambil marah. Rasanya jadi gak enak.” Aku berusaha mencairkan suasana.

Setelah berkali-kali minta maaf, akhirnya senyum di wajahnya pun terukir lagi. Aku sendiri sudah lupa berapa kali aku meminta maaf kala itu. Tapi yang tak kulupa adalah senyum itu. Senyum yang menawan hatiku semenjak hari itu.

***

“Lagi diet gula. Kegendutan, gak bagus.” jawabku sekenanya saat pelayan pergi membawa serta catatan pesanan kami.

“Oooo… gendut itu menarik loh. Sekarang kan jamannya cowok prenagen.” Dia mengucapkan sambil tertawa. “O iya… gimana perjalananmu setahun kemarin?”

“Ya biasalah. Namanya juga kerja. Bukan jalan-jalan. Jadi ya stress-stress juga.”

“Hahaha. Ya setidaknya bisa tahu luar negeri seperti apa.”

“Memang sih. Terus kabarmu gimana? Setahun loh. Jangan bilang biasa aja.”

“Ya memang biasa saja kok. Mau gimana lagi? Setahun habis dengan kerja, kerja dan kerja. Targetku naik terus setiap tahun.”

Dia menatap makanan yang baru saja datang. Dipegangnya handphone dan mengambil foto makanan itu. Aku pun menyodorkan makananku ke hadapannya, yang diikuti dengan senyum di wajahnya.

“Rela nih? Nanti diketawain lagi.” Kami pun terbahak mengingat kejadian itu lagi.

***

Dua jam aku menunggunya di restaurant yang katanya sangat cocok untuk yang ingin romantis di malam kasih sayang. Aku memesan tempat di restauran ini sejak dua minggu lalu.

Untungnya masih mendapatkan tempat di sisi jendela yang menunjukkan kota Jakarta saat malam.

Kurogoh kantongku, memastikan kotak itu masih aman dalam jasku. Untungnya kotak itu masih bisa kurasakan. Tak lama kulihat sesosok wanita bergaun putih dengan heels putih mendekat.

Dia sangat mempesona malam itu, malam ke-4 pertemuan kami. Aku sengaja mengundangnya, bukan karena hari kasih sayang, namun karena hal penting yang ingin aku bicarakan.

“Lama ya? Kayaknya jadi kebiasaan nih. Kamu nunggu aku setiap janjian.”

“Gak apa kok. Worth to wait. Kapan lagi aku bisa melihat seorang malaikat cantik hanya untukku.”

“Gombal. Makin lama kamu makin pintar ya gombalnya.” Aku bisa melihat wajahnya bersemu merah.

“Bukan gombal. Kamu gak lihat tadi? Semua pria memandang ke arahmu saat kamu masuk. Aku merasa paling beruntung karena kamu memilih bersamaku daripada mereka.”

Dia tertawa berusaha menyembunyikan semu pada wajahnya itu. Kami menikmati makan malam kami tanpa banyak bicara, terutama aku. Aku sangat gugup.

Berkali-kali aku meraba kantong jasku. Sialnya adalah di ruang sedingin itu, aku merasa kepanasan. Jika saja restaurant ini tidak mewajibkan pengunjung menggunakan jas, aku sudah pasti melepasnya dari tadi.

Segelas kopi di hadapan kami masing-masing. Makan malam usai, namun kami masih diperkenankan duduk menikmati pemandangan kota Jakarta.

“Gi…” suaraku parau dan pelan memanggilnya karena gugup. Dia mengalihkan pandangannya dari jendela dan melihatku lekat. Menunggu perkataanku selanjutnya.

“Ehm….” Sial, kenapa aku jadi gugup banget. Aku mengeluarkan kotak hitam dari kantong jasku. Aku meraih tangannya. Membuka kotak hitam beludru itu dan menunjukkannya. Dia terdiam. Terkejut sepertinya.

“Aku merasa aku sudah mengenal kamu lama dan nyaman kalau bersama kamu. Aku ingin kita menjadikan apa yang kita punya sekarang ini jadi satu hal yang resmi. Aku ingin terus bersamamu. Aku…”

Stop Dave. Please. Jangan teruskan. Aku…”

Aku terdiam. Dia pun diam. Restoran yang penuh dengan pengunjung itu pun terasa sepi. Keheningan melanda kami berdua. Aku tidak tahu apa yang ingin diucapkannya tadi. Dia pun masih diam. Apa yang harus kulakukan sekarang?

“Dave, I like you… a lot. But, …” Ok, itu dia. Tapi. Aku pun semakin terpekur dalam diam.

“Aku suka mengobrol denganmu, beneran. Tapi kalau untuk ini…” Dia menghela nafasnya perlahan. “Aku gak bisa Dave. Aku… saat ini sudah bertunangan dengan seseorang. Hanya menunggu waktu pernikahan.”

Aku terdiam. Pernah membayangkan kita dihisap ke dalam lubang gelap? Itu yang kurasakan saat itu. Benar-benar gelap dan pengap. Nafasku sesak.

Aku tidak pernah tahu kalau dia sudah bertunangan. Dia tak pernah mengatakannya. Tapi aku pun tak pernah menanyakannya.

“Aku minta maaf Dave. Tidak memberitahu sejak awal. Aku sangat nyaman mengobrol denganmu, hingga bisa membuatku lupa sejenak akan kesibukan persiapan pernikahanku. Tapi.. aku kan tetap menikah dengannya. Aku mencintai dia sejak dulu. Dia cinta pertamaku.”

Dia menatapku dalam. Aku bisa merasakan kesedihan dalam matanya itu, namun rasanya, duniaku sudah runtuh sejak saat itu. Malam indah dan romantis pun sudah tak mampu menarikku kembali dari lubang itu.

***

“Aku sedang menantikan buah hati kami Dave” ujarnya seraya mengelus perutnya. “Dua bulan sekarang. Aku tak sabar ingin menggendongnya erat dalam pelukanku.”

Aku tersenyum mendengar kabar ini. Setidaknya, kebahagiaannya masih dibagi denganku. Walau aku tak bisa bahagia di sisinya, aku masih bisa bahagia bersamanya.

“Wah… selamat ya Gi. Bentar lagi gw jadi om dong.”

Sudah hampir dua jam kami menghabiskan waktu di coffee shop ini. Di luar hujan mengguyur, sepertinya memahami isi hatiku yang masih terluka.

Aku yang kini memang tak sama lagi, seperti kopi yang kuminum.

Tanpa gula, agar aku masih bisa merasakan manisnya hidup di luar sana setelah menikmati pahitnya secangkir kopi tanpa gula.

Exit mobile version