Site icon Perjalanan Senja

Kembali Padamu (untuk Selamanya)

kembali padamu fiksi indonesia

Hujan baru saja menyapa pagiku. Wangi tanah bercumbu dengan air selalu membawa diriku ke dalam kenangan-kenangan lama. Bukan kenangan yang memang untuk dilupakan, tapi kenangan yang membawaku ke dalam ketenangan dan memberi kekuatan dalam diriku selama ini. Aku pun mengambil secangkir kopi yang baru saja aku siapkan. Aroma kopi semakin membawaku ke dalam kenangan, khususnya sebuah kenangan di Nusa Dua.

Nusa Dua, 20 September 2010

“Ayo… Nanti kita ditinggal sama yang lain!” teriak Mindi seraya menarik tanganku, untung aku berhasil menarik kamera digital kesayanganku. Sayang rasanya jika berkeliaran di Pulau Dewata tanpa kamera untuk mengabadikannya. Pasir putih dan puluhan orang lainnya telah menanti kami di titik temu yang telah diumumkan kemarin. Hari ini adalah hari pelepasan kura-kura di pantai putih ini.

Pantai di The Pirate Bay, salah satu restaurant di resort Balibay ini memang sangat indah, dan airnya yang bening sangat cocok untuk dijadikan tempat pelepasan kura-kura. Semua peserta dapat melihat kura-kura yang dilepaskannya dengan mudah. Sebenarnya acara pelepasan kura-kura seperti ini pernah aku ikuti di salah satu pantai di daerah Jawa Barat, namun atmosfer di pantai ini sangatlah membuat acara kali ini lebih berbeda.

Review Kuliner Anak Muda

Sebelum melepas, pemandu memberikan beberapa informasi mengenai kura-kura yang akan kami lepaskan di depan sebuah kapal yang menjadi ciri khas tempat ini juga. Aku pun mendengarkan informasi itu seraya mengarahkan kameraku ke berbagai penjuru pantai di hadapanku itu.

Okay… that’s a short story about the turtles. Now… we are gonna set them free. Let them go home with their love ones. Coz, everyone in this world deserves to be with their love ones. Together, forever.” Pemandu itu pun mengakhiri kisahnya dengan memberikan kami sebuah kotak kecil masing-masing berisikan satu kura-kura. Aku menolak menerima kotak itu dengan alasan ingin mengabadikan acara ini lewat kameraku.

Pelepasan kura-kura pun dilakukan bersama-sama. Mindi, yang sangat antusias dengan acara ini semenjak kami menginjakkan kaki di Nusa Dua, terlihat tak seceria biasanya. Aku pun mengarahkan kameraku dan zoom pada wajahnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku pun segera menangkap ekspresinya melalui kameraku. Mindi, si gadis tegar… bukanlah Mindi yang baru saja kulihat dari balik kameraku ini.

***

Setelah acara itu selesai, kami berpose bersama di depan kapal dan kemudian diakhiri dengan santap siang di The Pirate Bay. Aku memesan Grilled Baracuda sedangkan Mindi memesan Calamary and Chips. Keduanya sangat lezat ditambah dengan layanan super dari para pelayan berpakaian perompak membuat kami puas.

“Gak rugi kan ke sini?” tanya Mindi kepadaku.

“Iya… gak rugi. Apalagi bisa melihat the other side of Mindi.” Ujarku sambil tersenyum. Mindi agak terkejut mendengar ucapanku.

Other side? What do you mean?” Aku pun menyalakan kameraku dan menunjukkan hasil fotoku tadi.

“Gak sangka Min. Cewek tomboy – suka jutek ke orang lain kayak lo bisa juga terharu di acara tadi.”

Mindi terkekeh mendengar ucapanku. “Ah itu mah gw sengaja kok. Gw tahu lo lagi foto gw.”

“Boong aja lo. Gak usah malu ma gw mah.”

Mindi hanya diam tak menjawab ledekanku lagi. Dia memandang pantai yang terpampang indah di hadapannya itu. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun melanjutkan keasyikanku dengan Banana Foster yang luar biasa nikmat menyegarkan itu.

“Ben, apa yang membuat lo bahagia?”

Pertanyaan tiba-tiba itu membuatku terdiam, kulihat Mindi serius menatapku menunggu jawaban.

“Kenapa lo tiba-tiba tanya itu?” Aku berusaha mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya itu.

“Gak apa-apa. Itu pertanyaan mudah kan. Boleh dong gw tahu.”

“Hmmm… apa ya?” Aku menirukan gaya pose The Thinker yang terkenal itu. Bukan… bukan untuk menggoda Mindi tapi memang pertanyaannya itu membuatku berpikir. “I think… mengerjakan apa yang gw suka dan berhasil dalam mengerjakannya, itu yang membuat gw bahagia.”

Have you?” tanya Mindi menyelidik.

Aku hanya menggelengkan kepalaku sedikit. Memang itulah kenyataannya, pekerjaanku sekarang sebagai salah satu manajer termuda di sebuah bank swasta bukanlah yang kuinginkan sebenarnya.

“Terus kenapa lo gak mengejar kebahagiaan lo itu Ben? I mean, if you’re not happy, why don’t you chase your happiness?”

“Gw gak tahu Min. Rasanya dah terlalu nyaman aja gw sekarang ini, walaupun terkadang gw suka mengeluh tentang kerjaan gw, terutama ke lo. Tapi pekerjaan gw ini dah gw jalanin hampir 7 tahun. Kalau melepaskannya juga sayang kan.” Aku pun menatap tak berselera lagi ke Banana Foster yang tadi menggoda sekali seraya menghela nafasku. Mungkin jika bukan Mindi, orang yang mendengar keluhan tentang pekerjaanku akan menganggap diriku ini sangat tak bersyukur.

“Lo sendiri gimana Min?” tanyaku sembari berusaha menghilangkan kegalauan hati karena pertanyaannya tadi.

“Gw? Kebahagiaan gw adalah saat orang di sekitar gw bahagia dengan keberadaan gw. That’s all.” Jawab Mindi segera dengan lancar yang diiringi dengan senyuman lebar. “Ben, gak ada kata terlambat untuk mencari kebahagiaan. Selanjut-usia apapun, kebahagiaan itu pantas untuk dicari.”

***

Dan kini, di sinilah aku. Di salah satu apartment mewah di kota ramai yang terkenal dengan julukan Big Apple ini. Menghirup aroma kopi yang sengaja dikirimkan Mindi setiap bulannya bersama dengan panganan khas Indonesia yang tak dapat kutemukan di sini. Perubahan besar terjadi setelah perbincangan singkat kami itu. Aku mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja setelah aku bicara dengan seluruh anggota keluargaku. Alasannya aku ingin memulai usahaku sebagai fotografer, satu hal yang memang aku sangat sukai.

Awalnya mereka memang tidak setuju bahkan mengatakan aku ini bodoh. Tapi tekad bulatku saat itu membuat ibuku, yang merupakan kepala keluarga semenjak almarhum ayah meninggal, akhirnya merestui keinginanku itu. Bagiku restu ibu tentu segalanya. Segera setelah mendapatkan restu itu, aku pun mengajukan pengunduran diri dan mulai memperdalam teknik fotografi.





Perjalananku menjadi fotografer terkenal pun tidak mudah. Pada awalnya banyak penolakan aku terima saat mengajukan proposal rekanan ke berbagai Wedding Organizer ataupun ke perusahaan Advertising. Aku masih ingat saat Mindi duduk menemaniku di tengah malam di bilangan Jakarta Selatan karena aku frustasi tidak berhasil mendapatkan rekanan.

“Ben, mengejar kebahagiaan itu tak pernah mudah. Gak ada yang bilang mudah kok. Kalau memang mudah, gw yakin, seluruh orang di dunia ini bahagia.” Ujar Mindi malam itu. “Tapi kalau lo berhenti sekarang, lo gak akan merasakan kebahagiaan itu sama sekali. Tapi yah… semua kembali ke lo Ben. Apapun yang lo lakukan, gw akan dukung.”

Malam itu dilanjutkan dengan keheningan di antara kami berdua. Kami hanya duduk menatap wajah malam Jakarta. Tapi ucapan Mindi tentu tak pernah aku lupakan. Dan ucapannya itu membuatku terus berusaha. Satu demi satu portofolio hasil foto kutambah dan aku pun mulai dilirik. Rekanan pun mulai berdatangan.

Ben Mahardika Mulyono mulai dikenal sebagai salah satu fotografer berbakat. Di luar memenuhi keinginan rekananku, aku terus mengembangkan street photography sebagai ciri khasku. Aku pun berkeliling Indonesia untuk mulai mengenalkan Indonesia dari sisi ‘jalanan’nya ke seluruh dunia. Dan akhirnya dua tahun lalu aku pun menginjakkan kakiku di Amerika Serikat atas undangan beberapa galeri ternama untuk mempertunjukkan hasil fotografiku tentang Indonesia itu.

Pertunjukkan hasil karya fotoku kemarin malam pun terbilang sukses. Banyak pengunjung yang terkesima dengan hasil karyaku itu dan aku pun diundang kembali untuk turut serta dalam pameran di sebuah galeri di London.

“Selamat ya Ben. Super duper acaranya.” Begitu pesan yang kuterima di twitter-ku dari Mindi. “Ditunggu foto-foto acara berikutnya di London.”

Sebuah telepon masuk memberitahukan bahwa mobil yang akan membawaku ke bandara telah siap di bawah. Aku pun segera menarik tas yang telah kusiapkan dan menuju lobi. Sebuah petualangan baru akan dimulai, batinku.

***

Pesawat baru saja mendarat dengan mulus. Aku pun segera mengaktifkan telepon genggamku. Banyak pesan baru masuk yang tak kuindahkan. Segera setelah bagasi kudapatkan, aku melangkah keluar dan menghentikan sebuah taksi hitam. Kusebutkan sebuah alamat kepada supir taksi itu.

Dalam perjalanan aku pun membaca satu demi satu pesan yang kuterima dan membalas pesan itu sedapatku. Selang sejam, taksi yang membawaku pun sudah memasuki wilayah yang aku kenal dengan baik. Setelah membayar tarif taksi itu, aku melangkah mendekati sebuah rumah berpagar hitam.

Aku pun mengeluarkan telepon genggamku dan menghubungi orang yang tinggal di rumah itu.

“Halo. Tumben nih telepon. Biasanya cuma whatsapp aja.”

“Kali ini spesial. Jadi harus telepon.” Jawabku. “Lagi di mana?”

“Di rumahlah. As always.”

“Kalau gitu bisa dong keluar sebentar.”

Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu terbuka dan langkah ringan mendekat ke pagar tempatku berdiri.

“Surprise…” aku pun berteriak saat pintu pagar dibuka. Mindi hanya terdiam di balik pintu pagar yang baru dibukanya itu. Tak lama kemudian dia pun tersadar dan langsung memelukku.

“Ngapain lo di sini? Bukannya ada jadwal pertunjukkan di London?”

“Aku cancel. Ada urusan yang jauh lebih penting yang harus kulakukan.” Jawabku.

Mindi masih tampak bingung.

“Min… aku gak diijinin masuk nih?”

Mindi pun segera mengajakku masuk ke rumahnya. Setelah menyajikan minuman untukku, Mindi pun duduk di hadapanku.

“Min…” Aku menarik nafasku sejenak sebelum melanjutkan ucapanku. “Kamu ingat gak apa yang kita bicarakan di The Bay waktu itu.”





Mindi menganggukkan kepalanya.

“Dulu kamu tanya apa yang membuatku bahagia dan aku sudah menjawabnya bahkan berkat dirimu aku jadi seperti ini sekarang, bekerja dalam profesi yang kuinginkan. Beberapa tahun belakangan ini, aku berpikir tentang…” aku menghentikan ucapanku.

“Tentang???”

“Tentang kebahagiaan. Memang kebahagiaan yang kusebutkan adalah kebahagiaan yang kucari dan sudah kudapatkan sekarang ini. Namun…” aku memperbaiki letak dudukku sebelum melanjutkan ucapanku.

“Namun, aku pun menyadari bahwa ada kebahagiaan lain yang belum aku capai. Kamu masih ingat ucapan pemandu acara di pelepasan kura-kura waktu itu. Let them go home with their love ones. Coz, everyone in this world deserves to be with their love ones. Together, forever.”

Mindi menganggukkan kepalanya. “Iya, gw ingat kok”

I want to go home, like the turtles and share my life with my love. Dan jika kamu mengijinkan, aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Maafkan aku, sekian lama baru aku menyadari arti dirimu dalam hidupku.” Aku menghela nafasku sejenak sebelum melanjutkan ucapanku. “Kamu adalah kebahagiaan dalam hidupku. Kini aku menyadarinya.”

Keheningan segera mengisi ruang tamu itu. Mindi menundukkan kepalanya, terdiam. Aku pun jadi bingung karena sejak turun dari pesawat tadi, aku sudah gugup membayangkan semua kejadian ini. Dan kini, diamnya Mindi semakin membuatku gugup. Aku pun kembali memperbaiki dudukku.

“Ben…” suara Mindi akhirnya memecah keheningan di antara kami. Dia menatapku dalam, sebuah tatapan sama seperti saat di Nusa Dua dulu saat dia bertanya tentang kebahagiaan. “Masih ingat saat gw bilang kalau kebahagiaan gw adalah menjadi sumber kebahagiaan bagi orang di sekitar gw?”

Aku pun menganggukkan kepalaku dan menanti lanjutan ucapan Mindi tadi.

“Dan gw melihat lo mengejar impian lo dan sukses seperti sekarang adalah kebahagiaan gw. Tapi…. “ Mindi terdiam sebelum melanjutkan ucapannya. Dia menghela nafasnya perlahan seperti melepas sebuah beban berat. “Tapi… ucapan lo tadi adalah yang gw nantikan sejak dulu.”

“Maksud kamu???” Aku mencoba mengklarifikasi jawabannya itu.

“Maksudku… kenapa kamu lama banget pulangnya. Aku dah menanti sejak dulu. Sejak di resto bajak laut itu.”

“Jadi….” Aku menatap Mindi yang wajahnya kini agak memerah.

***

Aku pun mencium kening Mindi, kemudian ujung hidungnya dan terakhir adalah bibir merahnya. Terdengar suara tepuk tangan dan teriakan suka cita di sekitar kami. Kami baru saja menyelesaikan janji kami di hadapan Pastur untuk selalu bersama. Dan semburat mentari yang memerah di ufuk barat seakan memberi restu kepada kami pula di The Bay yang menjadi awal segala peristiwa dalam hidupku. Awal yang baru saja kumulai bersama Mindi, sumber kebahagiaanku.

Nusa Dua, 20 September 2013

Exit mobile version