Site icon Perjalanan Senja

Kamu, Aku, dan Sepatu

Sepatu Siapa Itu?

“Kenapa sih, kamu beli sepatu terus, padahal di rumah sudah banyak?”

Aduuuh…lagi-lagi keluhanmu. Serba salah, deh. Kalau aku tidak mengajakmu ikutan belanja, kamu langsung merengut dan bisa ngambek seharian. Kamu juga akan terus-terusan menelepon atau mengirimiku pesan singkat, bertanya mengenai keberadaanku. Meributkanku yang menurutmu terlalu lama di luar rumah. (Padahal, astaga…aku ‘kan, tidak keluyuran sampai seharian penuh. Malam sudah pulang, karena aku aslinya memang tidak begitu suka kelayapan.)

Giliran kuajak, kamu langsung berubah seperti anak kecil yang rewel sekali. Sebentar-sebentar bertanya kapan aku akan selesai. Kusarankan menunggu saja di toko gawai kesukaanmu, kamu tidak mau. Seakan-akan kamu tidak rela bahwa aku punya kegiatan apa pun. Maumu aku harus di rumah terus.

Akhirnya, belanjaku tidak tenang. Itu pun juga tidak hanya belanja untuk diriku sendiri. Aku juga berbelanja untuk keperluan rumah tangga kita berdua. Sialnya, kamu seperti tidak peduli. Kamu pikir, tugasmu hanya memberiku nafkah dari gajinya, terus tinggal tahu beres. Hah, mana pernah kamu mengecek harga bahan pangan yang meroket pada saat-saat tertentu, seperti sehabis Lebaran ini? Bisanya hanya ribut, menuduhku melakukan pemborosan dan tidak bisa mengatur keuangan rumah tangga. Suaraku sama sekali tidak didengar olehmu.

Hmm, beginilah kalau hasil jodoh paksa dari orang tua kita masing-masing. Belum kenal dekat benar-benar dalam waktu kurang dari enam bulan, sudah dipaksa harus segera menikah. Mau menolak? Orang tua kita kebetulan sama-sama sinting. Tinggal main ancam pakai kata ‘durhaka’, selesai sudah. Kita wajib menuruti mereka tanpa syarat. Habis perkara!

Bukannya aku tidak berusaha berbuat baik pada suamiku. Tapi, kalau caranya begini terus, perempuan mana sih, yang lama-lama tidak ikutan merasa sinting? Mau curhat ke mana pun juga percuma. Paling jawaban mereka (yang beragam) juga itu-itu saja:

“Sabarlah, belum juga setahun pertama. Yang namanya berumah tangga memang tidak mudah.”

“Istri penyabar calon penghuni surga.” Ini lagi. Terus suami rewel masuk mana?

“Kalau enggak tahan, minta cerai saja sama orang tua kalian. Toh, kalian sudah dewasa. Sebenarnya kalian berhak menentukan hidup kalian sendiri.”

Ha…ha…ha…semudah itu mereka bicara. Kurasa mereka belum pernah tahu rasanya ditimpuk sepatu boots tentara milik Ayah karena menolak permintaan beliau…bahkan sudah pakai cara paling halus dan sopan pula.

Ngomong-ngomong soal sepatu, kenapa kamu meributkanku yang menurutmu boros belanja sepatu lagi? Aku tak mungkin ke calon kantor baru untuk wawancara dengan sepatu lamaku yang sudah hampir jebol. Kesan pertama sangat menentukan kemungkinan aku diterima bekerja untuk mereka.

Sampai rumah, kita masih saling mendiamkan. Kamu langsung masuk kamar dan menutup pintu. Mungkin mau tidur lagi. Kata ibumu, Ibu Mertua yang sangat memanjakanmu, aku harus sabar. Mungkin kamu hanya stres karena belum juga mendapatkan pekerjaan baru sejak di-PHK kantor lamamu yang bangkrut gara-gara terkena efek pandemi virus Corona.

Aku sendiri langsung membereskan belanjaanku dan meletakkan sepatu baruku di rak mini dekat dapur. Ya, betul. Rak mini sepatuku. Kamu tadi bertingkah seakan aku punya koleksi sepatu sebanyak punya Imelda Marcos. Begini-begini, aku masih tahu diri. Bahkan, meskipun pakai uangku sendiri, aku juga tidak mau lantas membabi buta memborong semua sepatu.

Ah, sudahlah. Sepertinya malam ini kita lebih baik tidur terpisah lagi…

-***-

Aku merasa agak terhibur. Sepertinya wawancara kerjaku berlangsung lancar Senin pagi tadi. Karena sudah izin tidak masuk kantor lama untuk hari ini, kuputuskan untuk pulang lebih cepat. Sepatu yang baru kubeli – berhak tujuh senti dan warna hijau cerah – sepertinya membawa keberuntungan.

Sampai di rumah, aku tertegun. Ada yang aneh. Rumah ini terlalu sunyi. Awalnya, kukira kamu hanya tidur seharian, seperti beruang pemalas sedang hibernasi di musim dingin. Seperti biasa.

Kurasa kamu terlalu pulas, hingga tidak mendengarku masuk. Aku juga sudah kehilangan selera untuk membangunkanmu, karena melihat dua pasang sepatu bertengger selaras di depan pintu kamar kita. Sepatu pantofel hitam standar milikmu…dan high-heels merah menyala.

High-heels itu bukan punyaku.

Exit mobile version