Site icon Perjalanan Senja

Impossible

senja bercerita

Senja Bercerita

Pandanglah langit dengan kehampaan

Kau kan jumpai berjuta warna bersinar

Dengarkanlah laut dengan kesunyian

Kau kan temukan berjuta suara bersahut

Kupandangi lagi langit di atasku, namun tak kutemukan jua bintang yang bersinar seperti katanya. Sulit… itulah kenyataan bagiku, seorang warga Jakarta menemukan mereka di malam hari. Yang kutemukan adalah sinaran dari gedung-gedung pencakar yang memakan semua lahan di sekitarnya. Sulit… Mustahil…. Dan pikiranku beranjak ke dua tahun lalu.

“Sulit bukan berarti tak mungkin.” Ujarnya saat itu. “Impossible itu hanyalah masalah sudut pandang. Jika kamu membacanya dipecah-pecah akan sangat berbeda hasilnya.”

Aku hanya termangu mendengar ucapannya. Tak sedikitpun aku mengerti. Impossible yah impossible. Nothing else. Dan dia pun sepertinya tak ingin menjelaskan. Hanya diam, menatap langit gelap metropolitanku ini. Aku masih menatapnya, menunggu.

“Suatu saat nanti kau kan mengerti.” Ujarnya seraya mengelus kepalaku dengan telapak tangannya dan sebuah senyum mengembang di wajahnya. Senyum terakhir yang kulihat darinya.

‘Di mana kamu mas sekarang?’ Air mataku tiba-tiba saja mengalir. Kutangkupkan tanganku menutupi wajah. Aku membutuhkan dia. Saat ini. ‘Di mana kamu mas?’

***

Sebuah elusan hangat di kepalaku membuatku terjaga. Dia. Dia yang aku nantikan. Aku pun mengucek mataku, memastikan bahwa itu memang dia. Senyum itu. Tak salah lagi. Itu memang dia.

“Kenapa?” tanyanya dengan suara khasnya. Suara yang lembut dan menenangkan hatiku dulu, yang kucari selama dua tahun belakangan ini. “Tak pantas kamu menangis. Mengurangi keindahan wajahmu.”

Aku pun menghambur memeluknya. Hangat. Kehangatan yang sudah kudambakan selama dua tahun ini. Namun….

“Aku… aku…” tangisku tak tertahan lagi. Aku mengeluarkan semua air mataku dalam pelukannya. Bahunya yang bidang menjadi penampung semua air mataku. Tangannya masih memeluk seraya mengelus kepalaku lembut.

***

“Anda positif.” Suara dokter itu bagaikan halilintar dalam setiap sinetron lebay yang tersaji di layar kaca.

“Positif dok?”

“Iya. Namun… sekarang ini dunia kedokteran sudah lebih maju. Obatnya sudah ada, walau tidak menyembuhkan seratus persen namun akan mampu menolong Anda melewati masa-masa sulit dengan penyakit ini.”

Aku masih terdiam di hadapan dokter itu. Kata demi kata keluar dari mulutnya untuk menghiburku. Untuk tidak putus asa dan lainnya, berlalu begitu saja dari telinga kiriku ke telinga kananku. Ya Tuhan, cobaan apa ini yang kau berikan.

“Penderita HIV memang harus siap dengan segala resiko yang akan dialaminya. Termasuk biaya obat-obatannya yang cukup mahal. Namun kondisi Anda masih dalam tahap awal. Anda masih belum perlu meminum obat-obatan itu. Tapi Anda harus menjaga diri Anda dengan lebih hati-hati sekarang.” Dokter itu menjelaskan. “Kurangi konsumsi minuman keras, rokok dan jaga pola hidup sehat. Konsultasi secara rutin. Dari sana kita akan lihat kembali perkembangannya.”

Setelah mendengarkan semua informasi dari dokter itu, aku menelpon Dimas dan mengatakan hasil pemeriksaanku padanya.

“Terus? Kenapa? Untuk apa kamu kasih tahu aku soal ini?”

“Agar kamu mengecek jugalah. Kita pernah melakukannya tanpa pengaman kan?”

“Aku sudah tahu. Aku memang sudah dari dulu kok.”

Aku sangat terkejut mendengar ucapannya barusan. Handphoneku terlepas begitu saja dari tanganku. Dia mengucapkannya seakan tak ada salah dari sisinya. Dimas… sosok yang aku sayangi dan aku ikuti saja permintaannya saat itu. Tanpa pengaman, katanya, lebih puas. Tapi dia sudah tahu kalau dia mengidap penyakit ini dan memintaku…

***

“Aku ceroboh mas. Aku… “ Dia terus mengelus rambutku lembut. Memberiku ketenangan. “Aku ceroboh. Dan sekarang kecerobohanku itu membawaku ke pintu ini mas. Pintu keputusasaan.”

Tangisku masih terus mengalir.

“Kalau saja waktu itu aku tak membiarkannya tak memakai pengaman, mungkin semua ini takkan terjadi. Aku bodoh mas. Percaya dengan mulut manisnya dan mengiyakan keinginannya itu.”

“Semua sudah terjadi. Untuk apa kamu sesali, tak akan ada yang berubah kan?” Dia terus mengelus kepalaku. “Yang terpenting sekarang adalah saat ini.”

“Aku… aku tak bisa mas. Aku malu. Lebih baik aku….” Dia menghentikan ucapanku dengan telunjuknya.

“Jangan ucapkan hal yang akan kau sesali. Hidupmu tak berhenti hanya karena ini. Masih panjang. Ingatlah Ibu, Ayah, Dini. Mereka masih mengharapkanmu.” Direngkuhnya kembali diriku dalam pelukannya. “Kau harapan mereka Satya. Ingatlah, seberapa berat cobaan, semua dimulai dari sudut pandangmu. Impossible or I’m possible.”

Aku menengadahkan kepalaku. Kulihat dia tersenyum.

Impossible or I’m posible.

“Semua tergantung padamu Satya. Dan kamu tentu tahu, banyak yang mengharapkanmu. Banyak yang mencintaimu. Jadi kembali kepada dirimu. Bagaimana kamu kan menatap langit. Bagaimana kamu kan mendengarkan laut.” Ucapnya di telingaku, kurasakan hangat peluknya mulai memudar.

***

Kulangkahkan kakiku ke klinik itu seperti bulan lalu, hari ini waktunya aku konsultasi. Dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam dimana aku mengerti ucapan mas Bima saat kami duduk menatap langit. Mas Bima yang selalu menjadi pujaan hatiku hingga kecelakaan yang merenggutnya itu.

“Satya…. Apa kabar? Wajahmu jauh lebih cerah hari ini.” Ujar dokter Cintya yang menanganiku.

“Saya merasa sehat dok. Saya yakin saya akan sehat bertahun-tahun lamanya.”

“Semangat seperti itu yang aku suka.”

Dokter Cintya mengatakan kalau hasil labku masih menunjukkan tanda-tanda positif, CD41)-ku masih di atas ketentuan saatnya meminum obat. Selama aku masih bisa mempertahankannya, aku masih belum perlu meminum obat antiretroviral2) itu.

“Entah apa yang kamu lakukan, tapi saya suka dengan hasil yang kamu dapatkan untuk dua bulan ini. Jarang yang seperti kamu. Biasanya mereka justru sangat terpukul dan berefek pada percepatan penggunaan obat.” Ujar dokter Cintya.

“Saya hanya beruntung dok. Beruntung bertemu dengan orang yang saya sayangi. Dia mengatakan, hidup saya ini hanya tergantung dari sisi saya melihatnya. Impossible or I’m posible.” Jawabku.

“Wah… bagus itu. Mungkin kapan-kapan kamu ikut saya sharing ke teman-teman lain yang sepertimu.”

“Boleh dok. Dengan senang hati. Membantu mereka menghadapinya adalah hidupku kini.”

Kulangkahkan kakiku keluar dari klinik. Kutengadahkan kepalaku, menatap langit dan mentari yang sedang tajam menatapku dalam senyumnya.

Pandanglah langit dengan kehampaan

Kau kan jumpai berjuta warna bersinar

Dengarkanlah laut dengan kesunyian

Kau kan temukan berjuta suara bersahut

Diamlah sejenak dan bergumullah dengan kesedihan

Kau kan temukan berjuta jawab terucap

Berjalanlah terus dalam kepastian dengan harap

Kau kan temukan berjuta cahaya membimbing

 

Jumlah kata: 945 di luar judul dan footnote

 

Untuk “AttarAndHisMind First Giveaway” 

Exit mobile version