Perjalanan Senja Gadis Senja Hari Bahagiamu

Hari Bahagiamu


Kekasih Sejati

Akhirnya hari itu tiba juga…

Ingatkah kamu, betapa dulu kamu sangat menantikannya? Kamu sudah lama membicarakannya, bahkan sejak awal kita bertemu dan berkenalan. Kamu tampak bahagia. Ya, kamu memang berbeda – hampir langka, malah. Kamu tidak seperti lelaki seumurmu pada umumnya. Kamu juga bukan orang Indonesia. Bukan maksudku untuk bersikap rasis atau menghakimi, ya. Setahuku, kebanyakan lelaki berusia pertengahan 20-an yang bukan orang Indonesia termasuk ‘santai’ dalam urusan agama, cinta, dan pernikahan. Entahlah.

Berkat kamu, aku mulai memandang cinta dengan cara berbeda…

— // —

Apa yang bisa kuingat malam itu?

Kita berkumpul di restoran pizza dekat kantor bersama beberapa rekan kerja kita. Theo, lelaki berambut merah yang doyan surfing mau ke Bali selama sebulan. (Duh, enaknya!) Theo mengundang kita semua makan malam.

Entah bagaimana awalnya. Semula, aku tidak menyangka kamu juga diundang, mengingat statusmu yang masih ‘anak baru’ dan Theo tidak begitu akrab dengan semua orang. Yang pasti, malam itu ada kamu.

Kurasa karena kamu juga punya kepribadian yang menyenangkan. Tulus, tanpa kepalsuan.

Malam itu, kita mengobrol sambil menghabiskan pizza di meja makan. Entah kenapa pembicaraannya jadi mengarah padaku. Cerpen-cerpenku yang pernah kau baca di FB notes-ku. Indah, pujimu, sebelum mengkritik, namun terlalu muram. Tokoh utamanya seakan sudah skeptis akan cinta.

“Mengapa?” tanyamu waktu itu. Matamu yang biru-kehijauan tampak prihatin. “Apa gara-gara mantanmu dulu?”

Aku menghela napas. Ya, aku memang sudah pernah bercerita padamu dulu tentang dia yang sebenarnya sudah tak ingin kuingat-ingat lagi. Dia yang pada akhirnya lebih memilih sahabatku. Dia yang pernah sangat kubutuhkan, namun memilih tidak denganku lagi. Pedihnya kadang masih terasa bila diingat-ingat, meski sebenarnya sudah lama sekali berlalu.

“Apakah kamu masih sangat mencintainya?”

Aku menggeleng. Keningmu berkerut.

“Tapi kamu masih sering menceritakannya.”

Kembali aku menghela napas. Sial, dadaku sesak. Kurasakan butiran hangat membasahi pelupuk mataku, tinggal menunggu jatuh.

“Gara-gara dia aku sudah muak dengan cinta!”

“Kenapa?” tanyamu lagi, kali ini tampak sedih. Kurasakan tanganmu meraih tanganku di atas meja, lalu menggenggamnya. “Apakah dia telah membuatmu merasa ‘tidak berharga’?”

Aduh. Tidak berharga. Pilihan kata-katamu luar biasa tepat. Kupejamkan mata, hingga setetes air mata jatuh.

“Rabiah…”

“It’s not him; it’s me.” Kutatap kamu lagi, yang kali ini tampak merasa bersalah. Merasa tidak enak, aku balas menggenggam tanganmu di atas meja. “Aku yang takut. Selama ini, aku lebih sering jadi sahabat seorang lelaki daripada pacar. Kadang aku sulit membedakan. Mungkin…mungkin waktu itu – “

Setetes air mataku jatuh lagi. Sial. “Sori.”

Kamu tidak mengatakan apa-apa, kecuali hanya menawarkan tisu di atas meja. Kuterima untuk menghapus air mataku.

“Thanks.” Saat wajahmu masih tampak sedih, aku menggeleng seraya tersenyum lemah. “Please don’t feel so bad. It’s not your questions; it’s me. It’s just that…I’m still afraid.”

“Takut patah hati karena dikecewakan lagi?” tanyamu hati-hati. Ketika aku mengangguk, giliran kamu yang menghela napas. “Rabiah, aku belum kenal kamu. Tapi, entah kenapa, aku merasa kamu istimewa.”

Benarkah?

“Lihat dari sisi baiknya aja, deh,” lanjutmu. “Setidaknya waktu itu kalian berdua tidak sampai menikah.”

Iya juga.

“Dia memang bukan untukmu,” katamu lagi. “Aku percaya, Tuhan sedang mempersiapkan yang terbaik…khusus untukmu.”

Apakah kamu orangnya? Ya, Tuhan. Semoga saja…

— // —

Kita telah melalui banyak hal bersama, sebelum hari bersejarah itu tiba…

Mungkin karena itulah aku rela melakukan semua ini. Bayangkan, Rabiah yang biasanya tomboy dan cuek sama penampilan luar, hari itu ke salon. Berdandan lebih dari biasanya, dengan rambut tertata rapi dan make-up yang sukses mengubah tampilan wajahku.

Kata mereka, hari istimewa memang harus dirayakan dengan cara istimewa pula. Terutama pernikahan…

— // —

Photo via Unsplash

“Oh, my God! Rabiah, you look so pretty!”

Malam itu, aku banyak menerima pujian. Mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan penampilanku yang baru. Kurasa kamu juga banyak menuai pujian malam itu. Kamu tampak tampan dengan jas putihmu di pelaminan.

Yang terpenting, kamu juga tampak sangat…bahagia. Ya, ini memang hari istimewa. Aku juga menyanyi untukmu. “Can I Walk With You?” – nya India Arie menjadi pilihanku.

Tak lupa aku memelukmu dan…dia. Ya, Tara. Gadis pilihanmu dari lima tahun lalu. Gadis manis, baik, dan setia – benar-benar istimewa. Aku sering mendengar kisahmu tentangnya. Kalian berdua benar-benar hebat. Tak banyak yang bisa sesabar kalian berdua dalam mempertahankan hubungan jarak jauh, sebelum takdir akhirnya mempertemukan dan menyatukan kalian dalam bahtera pernikahan.

Apakah aku kecewa? Hmm, mungkin sedikit…pada awalnya. Bagaimana pun juga, kamu sempat menjadi sosok lelaki idamanku.

Namun, melihat kebahagiaanmu dengan Sarah, kuputuskan untuk menyimpan perasaan terlarang ini dalam diam…dengan harapan suatu saat akan musnah dengan sendirinya. Kita bukan lagi remaja. Ini realita.

Yang kusadari kini, kamu hadir dalam hidupku bukan untuk cinta, John. Kamu hanya ditakdirkan sebagai sahabat terbaik untukku, sekaligus inspirasi. Cinta sejati adalah sebuah kemungkinan yang bisa terjadi, selama kita masih mau mewujudkannya.

Semoga suatu saat aku pun menemukan cinta seperti itu…

-selesai-

Jakarta, 3 Agustus 2014 – 11:15 am

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.