Site icon Perjalanan Senja

Fiksi – Sesalkah

fiksi tentang ayah - sesal

Arghhhh… aku tidak bisa tidur lagi karena dia. Suara itu kembali hadir di tengah malam buta seperti sekarang ini, seperti biasanya. Gemerutuk gigi. Yup, itulah suara yang aku maksudkan. Setiap malam, pasti dia menggemerutukkan giginya tanpa dia sadari dalam tidurnya. Mengganggu diriku. Sebelumnya aku memang mencoba bersabar, tapi ini sudah beberapa hari aku selalu terbangun mendengar suara itu.

Memang pengganggu, batinku mengumpat. Aku pun akhirnya memutuskan ke luar, mencari yang segar-segar di dapur. Segelas air dingin ternyata bisa membuat diriku tenang. Tapi sekarang aku tidak lagi dapat tidur. Aku pun memutuskan untuk menikmati sebatang rokok.

“Harus ya, ngerokok di dalam rumah? Sana kalau mau ngerokok di luar.”

Suara itu mengagetkanku. Entah sejak kapan dia di sana menatapku tajam. Pengganggu tidurku dan kini pengganggu kenikmatan merokokku.

“Iya… iya,” dengan agak merenggut aku mengambil asbak dan melangkah ke teras belakang rumah.

Sial banget sih diriku ini harus bersama dia, berdua saja pula di rumah ini. Ah, aku kangen mama. Kalau saja dia masih ada, aku tidak akan sekesal ini.

“Jangan terlalu banyak ngerokoknya. Terus jangan tidur malam-malam. Begadang mulu kerjaannya.”

Terdengar suaranya yang lantang mencoba mengingatkanku. Eh bukan, mengkritikku, seperti biasanya.

“Iya… udah sana. Tidur lagi.”

Agak lantang memang aku menjawabnya barusan, tapi kekesalanku memuncak. Kalau dari awal tidak diganggu dengan suara giginya juga aku tidak perlu bangun dan merokok seperti sekarang. Aku menatap halaman belakang. Bunga-bunga sudah bermekaran sepertinya, walau sekarang aku hanya dapat melihat kuncupnya saja.

Kebun ini adalah peninggalan almarhumah mamaku. Dialah yang mengerjakan semuanya. Dia memang sangat telaten dengan kebunnya. Aku masih ingat ketika aku bertanya mengenai kebunnya, dia hanya bilang kalau kebunnya ini sudah seperti anaknya. Aku merindukannya. Kehadiran mama dulu bisa menenangkanku, sekarang rasanya aku jengah di rumah ini. Tapi aku tidak bisa ke mana-mana.

***

“Dua hari besok aku ada tugas ke luar kota. Jadi baru balik hari Sabtu. Itupun malam. Kalau nanti ada perlu uang, aku dah taruh di tempat biasa.”

Aku merapikan tas kerja dan juga tas travel-ku sambil menjelaskan padanya. Dia masih duduk menikmati kopi paginya dan membaca koran, seperti biasa. Setelah selesai merapikan tas, aku pun berjalan menuju garasi rumah.

“Aku jalan ya. Jangan lupa. Kalau gak penting-penting amat, gak usah telepon. Sms aja.” Teriakku sambil memasukkan tasku.

Aku mendengar langkah kakinya mendekat. Ada apa lagi, batinku berkata. Aku balikkan badanku dan melihatnya berdiri di depan pintu rumah. Dia tersenyum, yang agak menyebalkan kalau menurutku.

“Hati-hati di jalan. Nanti kalau ada apa-apa disms aja. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai. Jangan lupa doa setiap hari. Itu…. obat…”

“iya… iya. Udah dibawa kok. Udah ya. Aku jalan sekarang.”

Aku segera menyalakan mobilku dan beranjak meninggalkannya di sana. Selalu saja aku sebal berada di dekatnya, walau itu hanya sebentar saja. Tugas kantor ini sebenarnya hanyalah akal-akalanku. Aku akan menginap di hotel dekat kantorku. Setidaknya dua hari tanpa gangguan darinya. Aku mungkin akan lebih tenang. Setidaknya aku tidaklah egois, kan sudah aku kasih uang untuk keperluan selama dua hari nanti.

***

“Mas, nanti pulang jangan lupa beliin buah ya. Lagi pengen buah Naga deh.”

Itu sms darinya yang kuterima pagi tadi. Sudah dua hari, jadi waktunya aku pulang. Aku sebenarnya masih enggan pulang. Aku pun hanya membaca sms itu, tidak membalasnya. Kemarin dia menelpon hanya karena air minum di rumah habis. Katanya dia tak tahu harus menelpon siapa lagi.

“Itu kan nomor telepon agen air minumnya sudah aku pasang di kulkas. Tinggal telepon aja ke sana. Akunya ini lagi meeting. Ditelepon cuma karena ini.”

Agak keras memang aku menjawabnya. Dia pun terdiam dan kemudian bilang maaf dan menutup teleponnya. Menyebalkan banget.

“Dam, nanti sore jangan lupa ya. Kita hangout dulu sebentar.” Julius menepuk pundakku mengajak jalan nanti. Aku pun memang masih enggan pulang ke rumah jadi aku iyakan saja ajakannya.

Kami ke sebuah café kecil dekat kantor. Aku ingin memesan minuman keras saat itu tapi jam masih sore sehingga tidak ada minuman keras. Akhirnya kami menghabiskan wakut mengobrol saja, bahas apapun yang terlintas. Jam 10 malam aku baru menuju rumah.

Setiba di depan rumah, aku lihat keadaan rumah yang gelap gulita. Lampu teras tidak dinyalakan sama sekali. Huh… malas banget sih. Nyalain gitu aja gak mau, batinku. Aku pun segera masuk ke dalam rumah.

“Aku pulang. Ini lampu kenapa gak ada yang dinyalakan sih?” teriakku.

Tidak ada jawaban. Aku menyalakan satu per satu lampu dan mencarinya. Di ruang makan tidak ada. Di teras rumah belakang tidak ada. Di kamar tidur pun gak ada. Ke mana pula dia. Aku pun mencoba menghubungi nomor handphonenya.

Aku mendengar suara telepon di kamarnya. Dia tak membawa handphonenya. Damn! Aku mengumpat. Gimana ini. Ke mana sih dia. Ngerepotin aja. Gimana mencarinya sekarang. Aku keluar rumah mencoba mencarinya, mungkin dia ada di sekitaran rumah.

“Mas… Mas Dami…” seorang wanita memanggilku. Dia Mbak Surti, pembantu sebelah rumahku.

“Iya mbak. Mbak ada lihat…”

“Nah itu mas. Tadi saya telepon ke handphone mas, sore tapi gak diangkat. Bapak mas dibawa ke rumah sakit. Dia tadi ditemukan pingsan di kamar mandi. Sepertinya terpeleset mas.”

Aku ingat tadi sore memang ada nomor tak dikenal yang menelponku. Itu saat aku sedang bersama Julius di café.

“Gimana ceritanya Mbak? Terus di rumah sakit mana dia sekarang. Terus kenapa Mbak gak coba telepon saya lagi sih sampai saya angkat?”

“Aduh mas. Aku ini kan cuma pembantu mas. Pulsaku habis untuk memanggil ambulance ke sini. Bapak di Pelni. Mas ke sana saja sekarang. Tadi pas saya pulang dia masih belum sadar. Tapi dia memanggil nama mas terus.”

“Makasih ya Mbak… maaf tadi dah ketus ke mbak.”

“Udah sana. Kamunya panik, mbak paham kok. Sana cepat temui Bapak.”

***

Sudah dua hari tapi dia masih tidak sadarkan diri. Setiap pagi, sebelum ke kantor aku ke rumah sakit melihatnya. Pulang kerja aku pun ke rumah sakit. Dia tetap tak sadarkan diri. Menurut dokter ini memang agak aneh, seharusnya dia sudah sadar. Semua alat vitalnya menunjukkan kondisi normal. Tidak ada yang aneh.

“Coba diajak bicara aja bapaknya, Mas. Biasanya cukup menolong kok.” Ujar suster yang merawatnya. Menurutnya mengajak bicara orang yang tidak sadarkan diri membantu membuat orang itu segera sadarkan diri.

Aku terdiam mendengarnya. Memang aku pernah mendengar juga kalau orang tidak sadarkan diri sebenarnya menunggu sesuatu yang membuat dirinya mau kembali lagi. Tapi… apa yang aku bicarakan? Selama ini dia hanya menggangguku saja. Kami tidak berkomunikasi sebagaimana layaknya Bapak dan Anak.

“Pak…”

Aku menggenggam tangannya erat.

“Maafkan aku pak. Maafkan anakmu ini. Selama ini aku tidak memperhatikan Bapak sebagaimana seharusnya. Aku…”

Berat. Mataku mulai berkaca mengingat semua yang telah aku lakukan padanya. Aku…

“Aku minta maaf Pak. Bangun Pak. Bangun.” Aku mengusap air mataku yang menetes di tangannya itu. “Ini aku sudah bawakan buah naga yang Bapak mau. Bapak bangun ya. Kita makan buah naga abis itu.”

Tangannya kurasakan menggenggam erat tanganku. Kulihat sebuah senyum tipis di wajahnya yang mulai menua itu. Kerutan demi kerutan muncul di sana sini. Kulihat dia mencoba mengerjapkan matanya. Aku pun segera memanggil suster yang bertugas.

Menurut dokter, dia akan segera pulih dan boleh pulang ke rumah. Tapi tadi saat pemeriksaan, dia memanggil namaku terus. Aku pun segera menghampirinya.

“Mas… bapak minta maaf. Telah membiarkan dirimu khawatir.” Ucapnya perlahan. “Bapak minta maaf membiarkan ibumu pergi meninggalkanmu saat kamu masih membutuhkannya. Dia…”

“Udah pak. Gak usah banyak bicara lagi. Yang penting sekarang Bapak sehat dulu. Aku tidak mau kehilangan Bapak juga. Aku minta maaf sudah membuat Bapak menanggung semua beban kebencianku selama ini.”

Dia pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia ingin tidur lagi katanya. Aku pun membiarkan dia tidur. Esok harinya dia terlihat lebih segar. Dokter pun mengijinkan diriku membawanya pulang. Aku memang sudah mengajukan cuti selama seminggu ini untuk menemaninya.

***

Aku menghabiskan waktuku bersama dia. Menikmati apa yang seharusnya sudah aku lakukan sejak kemarin, menghormatinya selayaknya seorang anak berbakti menghormati seorang ayah. Beban antara kami sepertinya meluap begitu saja. Dia memaafkan kelakuanku dan aku pun sebaliknya, memaafkan sikapnya saat kematian ibu dulu.

Kami menghabiskan seminggu penuh arti bersama. Aku semakin memahami sifatnya yang sebenarnya menyayangiku dengan sangat. Dia rela kerja di dua tempat berbeda agar aku tetap dapat sekolah selama ini dan memastikan aku dapat melanjutkan kuliah hingga akhirnya seperti sekarang. Ini yang membuatku selama ini tidak dekat dengannya karena dia tak pernah ada di rumah.

Aku selama ini menganggapnya sengaja menjauh dariku dan tidak peduli denganku, apalagi dengan setiap bentakan ketika aku mendapatkan nilai yang biasa saja. Atau kala aku terlibat tawuran, dia tak segan memukulku dan mengunciku di kamar seharian. Aku benci dirinya kala itu karena dia tak pernah ada dan tak pernah mencoba mengerti aku yang merindukan ibu. Seminggu ini aku mencoba melepaskan semua.

Aku mencoba melihat sosoknya, seutuhnya. Dan sebenarnya, di balik sikap kerasnya itu, dia mencintaiku. Dia memberiku dorongan agar aku terus berusaha lebih baik lagi karena dia hanya ingin melihatku berhasil menjadi orang. Seperti yang diinginkan ibu. Aku bahagia bisa menghabiskan seminggu ini dengannya.

***

Mas, Bapak minta maaf kepadamu. Tidak bisa menemanimu selama yang kamu inginkan. Setidaknya sekarang Bapak sudah lebih lega karena melihat diirmu telah berhasil menjadi seseorang yang selalu diinginkan Ibumu.

Kepergian Ibumu tidak hanya membuat dirimu terluka. Bapak pun terluka. Tapi Bapak tahu kalau dia ingin Bapak mendidikmu hingga menjadi seseorang yang dapat dibanggakan. Dan kamu sudah menjadi itu.

Bapak minta maaf kalau selama ini tidak ada untukmu. Keras padamu. Semua Bapak lakukan untuk kamu. Masa depanmu. Dan Bapak tidak menyesal ataupun marah ketika kamu membalas perlakuan Bapak dengan benci. Bapak merasa pantas dengan perlakuanmu itu.

Seandainya bisa waktu berulang, Bapak hanya ingin, seminggu terakhir terulang lagi. Kita bisa menikmati waktu bersama tanpa harus ada benci di sorot matamu. Bapak tahu kalau Bapak tidak memberi kasih sayang sebagaimana Ibumu dulu. Bapak bukanlah orang yang seperti itu.

Bagi Bapak, melihatmu menamatkan kuliah, itu adalah tujuan utama Bapak. Setiap malam Bapak mengecek apakah dirimu sudah pulang atau tidur. Hanya guna memastikan kalau dirimu tidak apa-apa. Bapak sadar kamu benci ke Bapak yang telah memukulmu kalau kamu salah. Atau melarangmu bergaul dengan Joni yang berandalan itu.

Bapak rela dibenci oleh kamu selama kamu menjadi anak yang diinginkan Ibumu. Kini, Bapak bisa bernafas lega. Kamu telah menjadi yang diimpikan Ibumu. Dan seminggu ini, semua beban Bapak sepertinya terangkat ketika kita menghabiskan waktu bersama. Kamu memahami Bapak dan Bapak juga. Bapak bangga memiliki anak sepertimu Mas. Tapi mungkin terlalu egois hingga tak mau mengatakannya padamu.

Ingat ini kalau kamu punya anak sendiri nanti, jangan pernah membanggakan keeogisan diri sebagai seorang pria di hadapan anak. Dia perlu tahu kalau kamu, bapaknya, bangga padanya. Bapak minta maaf karena tidak bisa menemanimu lebih lama Mas. Tapi Bapak bisa bertemu dengan Ibumu dan mengatakan anakmu telah menjadi orang.

Itulah surat yang aku temukan di atas meja di kamar Bapak. Sehari setelah pemakamannya. Aku sendiri terkejut dengan kepergiannya. Seminggu terakhir tidak pernah dia menunjukkan sakit atau luka. Kami memang menghabiskan waktu bersama dan saling memaafkan satu sama lain. Dokter pun bingung mendapati kematiannya.

“Mungkin memang ini sudah jalannya Bapak. Dia ingin menghabiskan waktu bersama anaknya, yang “jauh” sebelum berjumpa dengan Sang Penciptanya sendiri.” Ujar suster yang dulu mengingatkanku untuk berbicara dengan Bapak saat dia tak sadarkan diri.

Satu hal yang tidak kusesali sekarang ini adalah aku telah memaafkannya dan dia pun memaafkanku, sebelum kepergiannya. Jika saja hal itu tidak terjadi dan Bapak meninggalkanku sebelum kami menyelesaikannya, aku mungkin akan hidup dalam sesal selamanya.

Selamat jalan Pak. Aku menyayangimu sebagaimana dirimu menyayangiku dengan caramu sendiri sebagai Bapak.

*The End*

Cerita di atas benar-benar fiksi belaka. Hanya saja hari ini terpikir menuliskan kisah tentang seorang ayah, yang mungkin rasa cintanya sering tertutup dan disalahartikan oleh banyak anak. Tulisan tentang seorang ayah yang saya suka salah satunya adalah tulisan Mas Ariga. Akhirnya aku bisa menuliskan soal ayah mas. hehehe. Walau merasa masih agak jauh dari yang kuinginkan.

Selamat jalan Papa…. it’s been 10 years, today. Love you, miss you.

Exit mobile version