Site icon Perjalanan Senja

Fiksi – Kuyakin

“Kamu yakin dek? Siap?”

Ibu kembali bertanya padaku. Aku mengerti dia khawatir dengan keinginanku untuk mengikuti perlombaan itu, apalagi dengan kondisiku. Tapi aku dah yakin dan memantapkan hati sejak saat itu.

Aku menganggukkan kepalaku tegas. Kupeluk ibuku yang masih memasang wajah cemasnya. Kueratkan pelukan seakan ingin mengatakan, yakinlah bu, aku akan baik-baik saja.

***

Sekarang aktivitasku bertambah. Setelah sholat subuh, aku tak lagi melanjutkan tidurku seperti yang biasa aku lakukan. Aku mulai berjalan ringan di sekitar tempat tinggalku. Aku tahu kalau seharusnya aku mulai latihan lari, seperti yang dilakukan oleh para pelari marathon lainnya. Tapi aku lebih memahami kondisiku. Berjalan ringan sebagai awal adalah langkah pertamaku. Jika sudah saatnya, aku akan menambah latihanku.

Dan aktivitasku ini tentunya berimbas pada berkurangnya waktu istirahatku. Setelah olahraga pagi, aku masih harus berangkat kerja. Dan pulang kerja aku masih harus melanjutkan menjaga toko yang selama ini sudah aku jalani. Tapi aku yakin kalau aku bisa. Semua ini bukan untukku! Semua untuk dia.

***

Sudah lima hari ini aku terus berlatih dengan berjalan. Jarak tempuhku telah meningkat dari hari ke hari. Sudah waktunya aku mulai berlatih lari. Bukankah itu tujuan awalku? Aku pun memantapkan hatiku untuk mulai berlari. Dua putaran cukup untuk hari ini, batinku. Besok akan kutambah lagi.

“Giat bener sih olahraganya. Tiap hari. Buat apa???”

Terdengar suara yang paling kubenci dari belakangku. Tanpa menoleh pun aku sebenarnya sudah tahu. Pasti dia. Satu-satunya yang suka menggangguku. Dimas Anggara, salah satu teman sejak kecil. Aku pura-pura tak mendengarnya, enggan membalas pertanyaannya itu.

Dimas tiba-tiba sudah ada di hadapanku dengan lengan memegang pinggangnya tak memberi jalan untukku.

“Gak usah sok giat olahraga. Gak guna.” Ujarnya mencemoohku. “Kalau pin…”

Aku mendorongnya keras sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya itu. aku yakin pantatnya itu sakit mencium aspal jalan. Segera aku berjalan cepat meninggalkannya. Kenapa harus ada orang seperti dia di dunia ini.

“Gak ada guna tau! Percuma….” Teriak Dimas dari kejauhan. “Tetep aja pincang!”

***

Aku segera masuk ke kamar tidurku, menghindari ibu yang pasti akan bertanya kenapa aku menangis. Aku tidak boleh menangis, tidak di depannya. Tapi ucapan Dimas sungguh mengganggu hatiku dan menusuk sangat dalam.

Kutatap kedua kakiku. Sebuah besi panjang berbentuk kaki memang sudah terpasang sejak dua tahun lalu karena donasi dari sebuah komunitas. Namun… tetap saja aku dikenal sebagai si gadis pincang. Aku memang lahir dengan cacat bawaan. Sejak lahir.

“Dek…. Kamu sudah pulang? Sudah makankah?” suara lembut Ibu memanggilku dari luar kamarku. Segera kuhapus air mataku. Tak boleh. Dia tak boleh melihatku menangis.

“Iya bu.” Aku pun melangkah keluar kamar. Mendapati ibu sedang menunggu di depan kamarku. Lingkar matanya menghitam. Ibu…

“Ibu sudah makan? Kita makan bareng yuk.” Hari Minggu seperti ini adalah waktu bagiku menghabiskan waktu bersamanya. Tak perlu terburu-buru ke kantor seperti biasa. Kami melangkah bersama ke ruang makan kecil kami yang menyatu dengan ruang keluarga dan ruang tamu.

“Kamu kenapa?”

Aku hanya diam. Menatap makanan yang ada di hadapanku. Ia ibuku. Dia pasti merasakannya. Insting seorang wanita, katanya.

“Jangan bohong sama ibu. Kamu habis menangis kan?”

Aku pun menatapnya. Matanya yang lelah tetap memancarkan keteduhan yang selalu menenangkan siapa pun yang melihatnya. Aku pun menangguk.

“Ada apa?”

“Gak apa bu. Hanya kangen ayah.” Jawabku berbohong.

Tangannya mengelus rambutku lembut. “Kamu masih mau berbohong atau jujur sama ibu?”

Bersamaan dengan ucapannya itu, aku pun kembali menangis. Dipeluknya tubuhku erat. Kuceritakan apa yang terjadi tadi antara aku dan Dimas. Dia terus memeluk dan mengelus rambutku.

“Sudah. Sudah. Jangan menangis lagi. Maafkan ibu. Kalau saja dulu ibu…”

“Gak bu. Bukan salah ibu. Jangan bilang begitu.”

“Ini bagian dari kesalahan ibu. Tapi kamu yang menerimanya.”

“Gak bu. Bukan salah ibu. Ini adalah bagian dari karmaku sendiri. Mungkin di kehidupan sebelumnya aku sudah melukai banyak makhluk sehingga harus menanggung ini.”

Ibu pun memelukku kian erat. Memang dia tak mengeluarkan air matanya, tapi aku tahu, di dalam hatinya dia menangis karena diriku.

“Bu… maafkan aku. Ini bukan salah ibu.”

Review Kuliner Anak Muda

Kami pun berpelukan erat. Hingga akhirnya dia melepaskan pelukannya dan menatapku erat.

“Ini bagian dari karma kita berdua. Kita pasti bisa melewatinya bersama.”

Aku pun mengangguk. Aku kan buktikan pada ibu. Dengan lomba itu. Akan kukerahkan semua dan membuktikan padamu dan semua.

“Dan….” Suara ibu tertahan sejenak. “Dimas juga tidak bersalah padamu. Tak seharusnya dia diperlakukan begitu. Pintalah maaf ke dia.”

Aku tahu itu. Ibu pasti akan mengucapkan hal itu. Dia adalah ibu yang selalu mengajarkanku untuk selalu memperlakukan orang lain dengan baik. Dan sudah terbersit dalam benakku tadi kalau pasti ibu akan memintaku meminta maaf pada Dimas.

“Iya bu. Aku tahu. Besok akan kucari dia dan meminta maaf.”

“Kenapa harus besok? Hari ini masih panjang. Jangan menundanya, jangan sampai ada sesal nanti.” Ujar ibu.

Ibu… kenapa kau begitu baik pada semua orang.

***

Aku memencet bel rumah yang sudah kuhafal betul sejak aku kecil. Sering aku ke sini, walaupun orang-orang memandangku aneh setiap aku ke sini.

“Dini…. Apa kabar?” Suara lembut seorang wanita terdengar disusul dengan sebuah wajah dengan senyum manis dan tulus. Pernah aku berpikir, bagaimana mungkin wanita sebaik dan semanis ini memiliki seorang anak seperti Dimas.

“Baik Bunda.” Ibu Dimas selalu memintaku memanggilnya dengan Bunda. “Dimasnya ada Bunda?”

“Dia ada di dalam. Ayo masuk… sejak tadi pagi dia mengurung dirinya di kamar. Dia pulang dnegan lecet di tangan dan bajunya kotor. Entah apa yang terjadi.”

“Eh…. Itu…” aku terbata mengucapkannya “Itu karena saya Bunda. Tadi saya mendorong Dimas. Maafkan saya Bunda. Saya ke sini juga ingin melihat keadaannya dan meminta maaf.”

“Aduh…. Dini.. Apa yang Dimas dah lakukan ke kamu kali ini?” Bunda bukannya memarahiku, tapi malah mempertanyakan kesalahan anaknya itu. “Bunda tahu, kamu tidak akan melakukan hal itu kalau dia tidak berbuat salah sama kamu.”

“Gak ada kok Bunda. Cuma saya aja yang lagi emosi tadi.”

“Hmmm….” Bunda sepertinya tidak mempercayai apa yang aku katakan.

“Benar Bunda. Dimas gak salah kok. Saya ke kamar Dimas ya Bunda.”

Aku pun berjalan menuju kamar Dimas. Kuketuk pintunya.

“Kan daritadi dah aku bilang ma…. Aku gak mau makan.” Suara Dimas terdengar dari balik pintu.

“Ini gw Dim. Dini.” Aku mendengar gerakan dari balik pintu. Semakin mendekat. Tak lama wajah Dimas pun muncul di balik pintu.

“Mau apa? Kurang yang tadi?” Wajahnya merah. Seperti sedang memendam sesuatu.

“Gw minta maaf tadi udah ngedorong lo sampai kayak gini.” Aku menjulurkan tanganku sebagai tanda permintaan maafku.

Dimas menatapku dengan mata tajamnya. Mata yang dulu aku rindukan setiap malam, sebelum sosok itu mulai meledekku setiap saat. Tak lama kemudian dia membuang wajahnya.

“Gak perlu!” Suara pintu dibanting di hadapanku cukup membuatku kaget.

“Dimas!!!!! Apa-apaan kamu. Gak sopan. Ayo keluar.” Suara Bunda yang menggelegar itu mengagetkanku. Aku tidak menyadari kalau sejak tadi Bunda melihat kami dari kejauhan.

Pintu itu pun terbuka kembali. Wajah Dimas yang agak takut mendengar teriakan ibunya itu sangat jelas. Bunda sudah ada di sampingku. Dia menarik Dimas keluar. Telinga Dimas memerah ditarik Bunda dengan kencang.

“Sejak kapan bunda mengajarkan kamu seperti itu? Gak sopan sama tamu. Gadis pula. Apa-apaan kamu? Kamu ini sudah dewasa. Sudah bisa cari uang sendiri. Tapi kelakuanmu gak lebih dari anak lima tahun.”

“Maaf ma… maaf.” Dimas berusaha melepaskan telinganya dari jeratan tangan sang bunda.

“Apa yang kamu lakukan ke Dini?”

“Bunda… Dimas gak salah kok. Saya yang salah. Tadi ngedorong Dimas sampai kayak gini.” Aku menjawab Bunda sebelum Dimas sempat membuka suaranya. “Makanya saya ingin meminta maaf.”

Dimas menatapku… entah apa arti tatapannya itu. Telinganya kini telah bebas dari jari Bunda.

“Kamu tuh ya. Gak malu. Gangguin gadis sebaik Dini. Dia bahkan melindungi kamu.”

“Aku….” Dimas tidak dapat berkata lagi.

“Dini… maafkan Dimas ya. Kamu jangan ambil pusing sama dia. Dia memang anak kecil. Badannya aja yang sudah gede. Hatinya masih kayak anak kecil. Maafkan Bunda juga ya Din.”

“Loh kok… Bunda jadi minta maaf?”

“Ya… Bunda yang menyebabkan Dimas seperti ini. Sejak kecil Bunda terlalu memanjakannya. Jadi seperti ini.”

“Gak Bunda. Bunda gak salah.” Aku jadi serba salah mendengar ucapan Bunda. Sedang Dimas masih saja menatapku dengan aneh.

“Bunda… saya pamit dulu ya kalau gitu. Dim, sekali lagi gw minta maaf ya dah ngedorong lo tadi.” Aku pun melangkahkan kaki keluar rumah. Aku masih bisa mendengar Bunda masih memarahi Dimas. Maaf ya Dimas…

***

Akhirnya hari ini datang. Sejak pagi aku sudah bersama puluhan orang lainnya. Kami berbaris mendaftar ulang. Dan kemudian kami diarahkan ke titik awal lomba. Sesuai dengan nomor, kami diurutkan satu per satu. Semua bersemangat. Tak jarang yang melihatku dengan pandangan aneh. Aku berusaha untuk bersikap biasa.

Tak lama kemudian aba-aba pun dikumandangkan. Semua berlari dengan kencang, termasuk beberapa orang di belakangku. Aku mulai berlari. Lambat jika dibandingkan dengan yang lainnya memang. Tapi tujuanku memang berbeda dengan yang lainnya. Kemenanganku berbeda, sejak awal aku sudah tanamkan hal ini.

Pos demi pos aku lalui. Hanya tinggal beberapa pos terakhir saja. Aku mulai terengah-engah. Tak pernah aku menduga kalau praktiknya akan lebih berat. Selama ini aku pikir semua akan dapat aku lewati dengan mudah. Tapi ternyata tidak demikian. Aku merasa sangat letih. Kakiku semakin berat. Sejak awal memang aku sudah tahu, kaki palsuku ini memiliki keterbatasan. Semakin lama aku menyelesaikan lari ini, akan semakin berat pula aku mengangkat kaki palsuku.

“DINI!!!!” sebuah teriakan kencang kudengar dari arah depan. Kulihat dia di depanku. Memegang toa di tangannya. “Ayo terus…. Dikit lagi! Ibu dan Bunda menunggu di sini.”

Orang-orang yang sedang menonton lomba lari ini pun mengalihkan pandangan mereka ke asal suara itu. Aku menatapnya nanar. Kenapa dia ada di sini. Dia… yang memang menjadi tujuan awalku mengikuti lomba ini.

“Ayo… terus Din…. Aku juga akan menunggu di sini.” Teriakannya kembali membahana. Kulihat di belakangnya Ibu dan Bunda saling memegang tangan erat, seakan membentuk genggam doa. Keduanya cemas melihatku tapi samar kulihat mereka tersenyum.

Tiba-tiba aku merasa dadaku panas. Ada kobaran di dalam. Entah dari mana. Semua letih yang kurasakan tadi, kini tak kurasakan lagi. Perlahan kakiku kembali. Aku kembali bersemangat berlari. Pelan memang, tak seperti mereka yang sudah menyelesaikan lari mereka lebih dulu. Tapi aku tak mau berhenti sekarang.

Aku harus membuktikan kepadanya. Iya… dia. Aku terus berlari.

Aku merasa orang-orang yang dari tadi melihatku dan dia, kini mulai berbisik-bisik. Aku tak peduli. Aku harus menyelesaikan lari ini. Aku tak peduli cemooh orang lain. Aku ingin membuktikan padanya bahwa walau aku pincang seperti ucapannya waktu itu, aku bisa seperti mereka. Aku bisa karena aku mau. Bukan karena fisik yang terbatas hingga aku tak bisa.

Garis finish tinggal beberapa meter di hadapanku saat lamat-lamat kudengar suara tepuk tangan di sisi kiri dan kananku. Semua orang yang menonton perlombaan ternyata kini bertepuk tangan. Bahkan para peserta yang sudah selesai lari kini berdiri di belakang garis finish dan ikut bertepuk tangan.

Aku pun terus berlari. Di garis finish itu, aku melihat Ibu. Bunda. Dan dia. Mereka tersenyum. Menungguku. Dan akhirnya… aku pun menyentuh garis itu, sebelum aku kehilangan keseimbangan dan gelap menutup mataku.

***

Aku mengerjapkan mataku. Mencoba menyesuaikan mataku dengan cahaya yang masuk. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Atau mungkin aku bukan lagi tertidur. Karena cahaya itu sangat terang. Tapi tak lama kemudian aku melihat bayangan di atasku. Samar aku mengenali bayang itu adalah Ibu.

Tak lama, mataku sudah dapat menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Ibu berdiri di sampingku. Bunda juga ada. dan dia. Mereka tersenyum padaku.

“Aku di mana bu?” Ruangan bernuansa putih di sekeliling membuatku bingung.

“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Tepat setelah kamu menyentuh finish.” Suara Ibu menenangkan jiwaku.

“Iya Din. Kamu tadi pingsan. Terus langsung dibawa ke sini sama tim kesehatan panitia.” Bunda turut bersuara di samping Ibu. “Kamu hebat Din. Hebat.”

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka bahwa aku mencapai garis finish. Tujuanku tercapai. Aku berhasil.

“Kamu….” Aku pun akhirnya menolehkan kepalaku kepadanya. “Kamu berhasil Din. Berhasil. Tapi…”

Suaranya agak perlahan. Aku dapat merasakan ada khawatir dalam nada suaranya.

“Tapi jangan sekali-sekali kamu ulangi lagi hanya untuk mengajarkan aku.” Dia menghela nafasnya perlahan. “Aku minta maaf Din. Aku sudah mengganggumu sejak dulu. Aku salah. Lain kali kamu gak perlu lakukan ini hanya untuk membuktikan kalau aku salah.”

“Ibu dan Bunda sudah mengatakan semuanya. Kamu…. Kamu itu keras kepala tahu. Hanya untuk aku, kamu tetap lakukan. Walau resikonya tinggi buat kamu. Kamu tahu kan… kaki palsumu itu ada batasannya. Tapi… “

Aku hanya tersenyum. Bahagia di dalam hatiku. Aku bisa merasakan kalau dia sudah paham. Dia sangat paham.

“Aku… aku minta maaf Din. Tapi aku gak mau kamu ulangi lagi. Karena aku…. Aku gak mau kehilangan kamu. Gak mau.” Mata Dimas mulai berair. “Aku sayang kamu Din. Aku cinta kamu. Gak mau kehilangan kamu. Maafkan aku.”

Genggaman tangannya terasa hangat di hatiku. Pria yang sudah menghiasi hatiku sejak dulu mengatakan apa yang menjadi impianku selama ini.

“Aku paham kini. Kamu itu tidak cacat. Kamu bahkan jauh lebih normal dibandingkan yang lain. Dibandingkan aku.”

“Dim…. Aku…”

“Ssst.. aku yang bodoh selama ini. Masih maukah kamu menerima pria cacat ini dalam hidup normalmu itu?”

Kulihat Ibu dan Bunda. Mereka tersenyum. Dan aku pun menganggukan kepalaku pasti.

***

Seorang wanita berkaki palsu menyelesaikan lari 5 km dengan penuh semangat. Semua peserta dan penonton menyemangati wanita itu hingga akhirnya dia berhasil mencapai garis finish. Peserta ke 30 dari total 100 peserta yang terdaftar di lomba lari 5 km minggu lalu. Dia mengajarkan pada kita bahwa semua kembali kepada niat kita. Keterbatasan fisik kita tidak berarti mengurung kita dalam penjara hidup. Dini Amiwati, 24 tahun, menunjukkan kepada kita arti semangat hidup dengan tujuan. Mari semua… belajar dari teladannya.

—————————————————————————————————————————————–

Writer’s Note tentang Fiksi Kuyakin

Awalnya cerita tentang lari ini muncul pas saya bicara dengan kawan saya mengenai hebohnya Indonesia, terutama Jakarta, dengan lomba-lomba lari yang kini semakin marak. Semakin banyak orang ikut lari. Dan awalnya cerita ini saya mau konsepkan berbeda. Eh tau-tau jadi cerita cinta. Saya lupa konsep awal saya nulisnya gimana. Pertama kali menuliskan paragraf pertama cerita ini di bulan Oktober kemarin.

Monggo kritiknya ya…

Exit mobile version