Site icon Perjalanan Senja

[Fiksi] Hina

“Pergi sana! Tak mau aku melihatmu lagi. Orang hina sepertimu tidak pantas di sini. Ini kelompok elit. Tidak cocok untukmu.” Ucapan rupanya tidak cukup bagi Dwi. Dia juga menghadiahiku ludahnya, tepat mengenai mataku. Aku pun hanya dapat mengerjapkan mata dan membersihkan ludahnya dengan punggung tanganku.

Aku pun melangkahkan kakiku keluar dari gedung megah tempatku belajar itu. Aku ini memang bukanlah anak berada seperti dirinya, ataupun anggota yang disebut kelompok elit itu. Aku bisa berada di gedung ini pun karena beasiswa yang aku perjuangkan sejak aku masih di SMA. Dulu aku berpikir dunia itu adil. Bahwa dunia akan memberikan yang terbaik kepada mereka yang ingin berusaha. Dan itulah yang aku lakukan hingga aku pun berhasil mendapatkan beasiswa itu.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir terus. Apakah memang diriku sedemikian hina? Aku tidak mengejar dirinya dan berusaha masuk dalam kelompok itu dengan sengaja. Mereka yang memintaku untuk bergabung. Sejak awalpun aku sudah menolak, namun karena bujukan merekalah aku akhirnya bergabung. Dwi, Ananda, Nisa dan Louis. Kelompok yang memang dikenal di kampusku sebagai kelompok orang berada. Ayah mereka semua adalah petinggi penting di negara ini. Tidak ada yang berani mengganggu mereka.

***

“Sudahlah… jangan diambil hati. Dwi memang terkadang begitu.” Ujar Nanda, nama panggilan untuk Ananda, menghiburku keesokan harinya. Aku lebih dekat dengannya dibanding dengan yang lain. “Anak-anak yang lain tidak masalah kok dengan kehadiranmu. Kami akan bicara dengan Dwi. Ok?”

“Gak kok. Gak masuk dalam kelompokmu itu pun aku tak masalah Nanda.” Jawabku setelah memikirkan masak-masak. “Sepertinya lebih baik seperti itu. Toh… aku jadi punya banyak kesempatan untuk belajar lebih giat lagi.”

“Yah… kok gitu sih. Kalau kamu keluar, nanti siapa yang akan bantu kami? Kamu itu yang paling pintar di antara kita semua.” Jawab Nanda setengah merajuk. Aku tahu, kalau sudah seperti ini akan sulit menolak. Nanda paling pintar memainkan emosi lawan bicaranya hingga akhirnya menuruti keinginannya.

 “Tanpa dalam kelompok pun, aku juga masih bisa bantu. Kapanpun kalian membutuhkan bantuanku tentang mata kuiah yang aku bisa, pasti akan aku bantu.”

“Hmmm…. baiklah. Aku minta maaf ya, atas nama kelompok.” Nanda kemudian memelukku sesaat.

***

“Gimana? Dia mau balik gak?” Tanya Louis pada Nanda begitu Nanda tiba di kantin tempat biasa mereka berkumpul. Dwi memasang muka kesalnya. Namun tidak diindahkan oleh yang lainnya.

“Gak. Dia gak mau.” Jawab Nanda seraya menyeruput jus melon yang dipesannya.

Dengusan Dwi terdengar keras.

“Tuh kan… tuh anak gak tahu diri. Dia pikir dia siapa sih.” Wajahnya yang semakin merah menahan amarah semakin jelas terlihat. “Orang hina kayak dia saja. Ngapain sih diurusin? Udah. Lupakan saja.”

“Ini semua gara-gara lo Wi. Kalau aja lo gak ngomong seperti itu sebelumnya.” Nisa yang daritadi diam akhirnya pun urun bicara. “Dia itu asset kita. Kalau gak ada dia….” Nisa diam tidak meneruskan ucapannya.

“Emangnya kenapa kalau gak ada dia? Gak bisa hidup lo? Sebelum ada dia juga gak masalah kan? Apa sih hebatnya dia? Dia itu orang hina…” Dwi membalas Nisa dengan kesal.

“Hei… hei… Udah.” Louis mencoba menenangkan Dwi. “Jangan berantem.”

“Iya. Udah. Gak usah berantem. Dia tetep mau bantu kita kalau kita butuh bantuannya, tapi dia gak mau balik dalam kelompok kita. Itu kata dia.” Ujar Nanda menerangkan.

“Iya… tapi gw jadi gak enaklah. Mentang-mentang butuh bantuan, kita cari dia.” Ujar Nisa. “Gw gak mau dianggap memanfaatkan.”

“Iya sih Nis, tapi toh kenyataannya, selama ini juga kita begitu. Kita memperbolehkan dia dalam kelompok karena kita butuh dia kan? Apa bedanya sekarang? Kita tuh memang dari dulu dah memanfaatkan dia.” Ucapan Louis membuat mereka semua terdiam. Kata hina yang dilontarkan Dwi sebenarnya adalah salah sasaran, merekalah yang hina. Mendekati seseorang karena ingin sesuatu darinya.

***

Dwi segera menggeser kursinya dan meninggalkan mereka. Nanda melihat raut wajah Dwi berubah, dia pun segera mengejar. Namun Dwi tiba-tiba bagaikan pelari nasional, berhasil meninggalkan Nanda jauh di belakang. Nanda pun hanya dapat melihat mobil Dwi menghilang dari pelataran parkir.

Sebuah mobil Honda Brio berwarna hijau terlihat berbelok ke sebuah komplek ruko tak jauh dari kampus keesokan harinya. Setelah mengunci mobilnya itu, Dwi berlari cepat ke salah satu resto cepat saji di sana. Dia mencari sesosok yang sudah dia lukai. Perkataan Louis menyadarkannya bahwa dia memang sudah keterlaluan dan salah. Sudut mata Dwi menangkap sosok yang dicarinya. Sosok itu sedang sibuk membersihkan meja dan lantai. Dwi ingin memanggilnya, namun sebelum dia lakukan, sosok itu sudah melihatnya terlebih dahulu dan mendekatinya.

“Joice,… aku… ingin meminta maaf. Aku dah salah. Gak seharusnya aku begitu. Aku cuma iri padamu. Kamu bisa menarik hati semua orang tanpa harus “membeli” mereka. Sedangkan aku… hanya Nanda, Louis, dan Nisa yang benar-benar mau menerimaku bukan karena kekayaan orang tuaku.” Dwi bergetar saat mengucapkannya. Dia bukanlah tipe orang yang biasa meminta maaf. Kedua orang tuanya yang merupakan pengusaha kaya mengajarkan dia untuk menguasai orang lain dengan kekayaannya dan kerendahan hati menjadi harta langka di keluarganya.

Joice mendekati Dwi dan memeluknya erat. Dia membiarkan Dwi menangis dalam pelukannya. Joice tetap memeluk Dwi erat. Dia berbisik padanya, ‘Tak ada yang perlu dipermasalahkan Wi. Semua terjadi karena kondisi kita yang berbeda. Aku tidak marah padamu.’

Dwi melepaskan diri dari pelukan Joice. Dia menatap bingung, kenapa Joice bisa tidak marah sama sekali padanya yang telah berbuat kurang ajar. Dan sepertinya Joice memahami kebingungan Dwi.

“Dirimu dari kalangan dan situasi berbeda dariku. Kemarin aku kesal, apalagi saat kamu meludahiku. Namun setelah berpikir semalaman dan berdoa kepadaNya, aku mendapat pencerahan. Setidaknya kamu tidak melukaiku secara fisik, yang tentunya akan lebih bahaya bagiku dan keluargaku, yang menggantungkan harapan mereka padaku ini. Hinaan dan perlakuanmu masih tidak seberapa dengan yang pernah aku alami. Dan ternyata doaku didengar olehNya. Aku berhasil mendapatkan seorang teman sejati lagi di dalam hidupku.” Joice tersenyum menatap Dwi. Tak lama kemudian mereka pun berpelukan lagi.

“Kamu memang orang baik Joice. Tak heran banyak yang menyukaimu dan ingin berteman denganmu. Terima kasih ya sudah memaafkanku dan bahkan menerimaku yang hina ini sebagai temanmu.”

Exit mobile version