Site icon Perjalanan Senja

Cowok Ganteng Itu di Rumah Angker

Bermalam di Tempat Seram

Gambar: unsplash.com

Foto: Unsplash.com

Aku merasakannya sebagai cinta pada pandangan pertama. Memang kedengarannya dangkal sih, tapi itulah yang kurasakan. Bahkan, peringatan tetangga soal dirinya pun tak kugubris.

Pertama kali lewat depan rumah tua dan menyeramkan dengan dua lantai itu, aku melihatnya sekilas. Cowok itu memperhatikanku dari salah satu jendela di lantai pertama. Reaksi pertamaku adalah terkesiap dan berbalik untuk kabur. Aneh, langkahku terasa lambat sekali. Hanya beberapa langkah menjauh, sebelum tiba-tiba kudengar suaranya memanggilku:

“Tunggu, jangan pergi.”

Dasar idiot, diam-diam aku mengutuk diriku sendiri karena mematuhinya. Dikuasai oleh rasa penasaran, aku berbalik. Saat itulah mata kami bertemu… dan napasku terhenti selama beberapa detik.

Dia cowok paling ganteng yang pernah kulihat. Rambut hitamnya tampak lembut, kulitnya pucat, dan matanya cokelat. Senyum manisnya membuat matanya tampak berbinar-binar. Tingginya sedang, tampak ramping, dan memakai kemeja putih sederhana serta celana panjang warna gelap.

“Kamu mau kemana?” tanya cowok itu padaku. Bahkan suaranya cocok dengan penampilannya – manis, lembut, hampir bagai musik di telingaku. Aku menyeringai ragu-ragu, merasa sedikit malu.

“Engg…pulang.”

“Kenapa kamu tadi lari?”

“Uh… kukira… kamu…,” aku tidak tahu harus berkata apa. “Maksudku… rumah tua di belakangmu itu…”

“Ah, itu!” Cowok itu mengerti dengan cepat dan tertawa. “Itu hanya rumah tua yang ditinggalkan. Nggak ada yang mengurus, jadi aku main ke sana suka-suka. Kayaknya nggak ada yang mau beli rumah itu. “

“Kamu nggak tahu kalo rumah itu … berhantu?”

Dia menyeringai. “Aku nggak percaya sama takhayul,” katanya sambil mengangkat bahu. “Maksudku, aku sudah sering melihat-lihat di dalamnya. Belum pernah melihat yang seperti hantu dan semacamnya. Rumahnya aman, kok.”

Oh. Oke, jadi aku percaya rumahnya aman. Hari itu, kami akhirnya berjabat tangan dan saling menyebutkan nama kami. Karena matahari hampir terbenam, kukatakan padanya bahwa aku harus pulang. Orang tuaku sudah menunggu di rumah.

“Kita masih libur sekolah kan?” Ketika aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya, dia mengajak, “Kapan-kapan mau ketemu di sini lagi nggak, misalnya besok? Buat ngobrol-ngobrol?”

“Oke.” Dia tersenyum. Aku balas tersenyum padanya, sebelum berbalik untuk pergi. Setelah beberapa langkah lagi menjauhi rumah itu, aku berbalik untuk melambai padanya.

Dia sudah pergi.

Baiklah. Mungkin dia sudah pulang juga. Aku tidak terlalu memikirkannya.

– *** –

“Ada tetangga lihat kamu mampir di rumah itu kemarin,” kata Mama keesokan harinya. Beliau mengerutkan kening. “Tolong hati-hati.”

“Ya ampun, Ma,” protesku. “Itu ‘kan, hanya cerita.”

“Mending jangan ambil risiko, deh.”

Aku menarik napas. Hidup di lingkungan yang penuh takhayul selalu menarik. Tidak peduli seberapa terpelajar dan rasionalnya manusia.

Singkat cerita, rumah itu dulunya milik keluarga kaya sebelum terjadi pembunuhan di sana. Pasangan itu bertengkar sebelum istrinya berakhir meninggal. Entah bagaimana, putra tunggal mereka secara misterius hilang setelah itu. Tidak ada yang bisa menemukannya sampai sekarang.

Beberapa orang pernah membeli dan tinggal di rumah tua itu sebelumnya. Sayangnya, tidak ada yang bertahan. Setelah satu atau dua minggu, mereka semua memutuskan untuk pindah sambil mencoba menjual kembali rumah itu.

Jadi, begitulah akhirnya rumah itu ditinggalkan. Kedengarannya seperti cerita horor klise lainnya, bukan? Rumah tua dan tampak menyeramkan, dengan misteri yang belum terpecahkan sebagai latar belakang sejarahnya.

Ngomong-ngomong, cowok itu sangat berani. Aku ingin menemuinya lagi di sana, tapi secara diam-diam. Aku tidak ingin Mama mendengar hal yang sama dari tetangga lain yang mengadu…

– *** –

Foto: Unsplash.com

“Hei, kamu kembali.”

Aku tersenyum padanya ketika kami akhirnya bertemu lagi di depan rumah itu sore berikutnya. Dia mengulurkan tangannya dan langsung kusambut. Kami pergi ke rumah itu. Tidak banyak yang kami lakukan hari itu, hanya duduk dan mengobrol. Dia sangat menyenangkan untuk nongkrong bareng. Kami membahas diri masing-masing, hobi, sekolah, dan urusan keluarga. Ternyata dia seumuran denganku.

Aku merasa ikut sedih saat dia bercerita tentang orang tuanya yang sering bertengkar. Pantas saja dia terlihat sangat kesepian. Dia mengangguk penuh simpati ketika kuceritakan tentang orang tuaku yang terlalu protektif. Aku ingin mandiri, tetapi Mama selalu meragukan kemampuanku. Aku nggak suka beliau seperti itu.

“Kurasa untunglah kita bisa menemukan satu sama lain,” katanya lembut, matanya menatap tajam ke mataku. Jantungku berdetak kencang. “Ini kayak…takdir.”

Aku tertawa, merasa sedikit gugup. “Ehm, entahlah.”

“Bener, kok.” Kami terdiam saat melihat langit berubah warna dari biru menjadi magenta. Matahari terbenam lagi, yang langsung membuatku teringat. Aku bangkit dari kursi.

“Oke, aku harus pergi,” kataku ringan. “Mama akan marah jika aku pulang larut malam lagi-“

“Apa? Jangan,”  bantahnya. Dia bangkit dari kursinya juga, mengerutkan kening. Tiba-tiba, dia terlihat sangat bingung dan ketakutan. “Kamu nggak perlu pergi. Kamu bisa tinggal di sini. ”

“Tidak, aku harus pergi-“ Aku merasakan cengkeramannya yang dingin dan erat di pergelangan tanganku. Ketika berbalik, jeritanku tertahan di tenggorokan karena ngeri.

Ketampanannya yang dulu seperti malaikat perlahan berubah … menunjukkan bentuk cacat aslinya yang mengerikan. Suaranya sekarang terdengar sangat aneh dan hampa:

“Tinggallah. Kamu nggak boleh pergi. Aku sangat kesepian di sini… ”

Andai saja kudengarkan tetangga kemarin…dan menuruti Mama…

Exit mobile version