Site icon Perjalanan Senja

Buku Harian Seorang Gadis Cantik

Dear Diary,

Tahu apa yang paling kuinginkan di ulang tahunku yang keenam belas nanti? Hanya dua hal sederhana. Bukan I-Phone keluaran terbaru atau buku. Aku juga nggak minta uang saku tambahan atau pacar. (Setidaknya bukan sekarang, hehe. Entah kenapa, rasanya belum perlu saja.)

Aku hanya ingin kurus, meski tahu itu bukan hal mudah. Untuk cewek-cewek kayak aku memang harus usaha EKSTRA keras. Olah raga, diet ketat…sebut saja. Sementara cewek-cewek lain, seperti kakakku Dania misalnya, nggak usah terlalu khawatir soal berat badan mereka. Mereka bebas makan apa saja dan sebanyak apa pun tanpa takut (gampang) gemuk. Cowok-cowok pasti akan tergila-gila sama mereka dengan mudah. Normal.

Apa daya, memang begitulah adanya. Mau sedih juga percuma.

Tapi, bukan itu tujuanku untuk kurus. Yang kutahu, dengan jadi kurus – keinginanku yang satu lagi pasti terkabul.

Aku hanya ingin beliau juga menganggapku cantik. Ya, sesederhana itu. Aku ingin beliau memandangku seperti beliau memandang Dania, putrinya yang satu lagi. Putrinya yang tinggi, langsing, berambut lurus, dan (selalu dianggap) cantik. Putrinya yang sempurna, karena selalu populer dan mudah mendapatkan pacar. Putrinya yang pintar, punya teman banyak, dan disukai semua orang – terutama sejak dia jadi fotomodel di majalah-majalah lokal. Nyaris tanpa cela.

Bukan Rania, meski namaku sama dengan nama Ratu Jordania yang cantik itu.

Rania.

—– // —–

“Kamu adiknya Dania?”

“Ya, Pak.”

“Kok beda, ya?”

“Beda kenapa, Pak?” Mata Rania menyipit. Dia sama sekali tidak suka cara Pak Nova menanyakan hal yang sudah jelas. Seperti orang bego saja. (Memang pikiran kurang ajar, tapi saat itu Rania sudah kesal sekali. Terlalu kesal untuk bersopan-santun). Padahal, beliau guru sekaligus Pembina OSIS. Sungguh ironis.

Pria kribo yang jangkung, ramping, pucat, dan bermata sipit itu balas memandang Rania. Sorot matanya tampak geli, bahkan sedikit merendahkan.

“Kamu gendut.”

Ya, saya sudah tahu, Pak, batin Rania pedih. Saya nggak bodoh, kok! Aki-aki ompong juga tahu!

“Gimana sih, rasanya gendut?”

Ah, bangsat! maki Rania dalam hati. Ingin rasanya dia memberi balasan pedas atau menampar muka guru bermulut kurang ajar itu. Persetan bila dia dikeluarkan dari sekolah gara-gara itu.

Celakanya, emosi Rania tertahan di pelupuk mata dan gertakkan giginya. Pak Nova keburu pergi, seolah tidak ada apa-apa. Seolah-olah beliau tidak pernah menyinggung Rania.

Oh, karena itukah Rania tidak terpilih masuk OSIS? Dania dulu terpilih dengan mudah. Begitu juga teman-teman Dania yang cantik-cantik bak model, macam Hera dan Farah. Angkatan Rania yang terpilih masuk OSIS sekarang juga begitu. Geng populer dan eksklusif macam Tania (emang dia Indo-Jerman yang cantik, sih!), Amara yang dingin dan jutek, dan Nora yang hobi pamer kekayaan ortu, dan entah siapa lagi.

Jujur, Rania tidak terlalu peduli. Dia juga ogah bergabung dengan cewek-cewek korban sinetron basi macam mereka. Nggak bakalan cocok sampai kapan pun. Lebih baik Rania terus di klub jurnalistik. Anak-anaknya lebih menyenangkan dan nggak ‘palsu’.

“Cuekin aja, Ran,” hibur Sami waktu istirahat siang. Sami adalah satu dari sedikit cowok yang benar-benar mau bersahabat dengannya di sekolah. “Kalo waktu itu gue ada di sana, biar gue tonjok itu orang!”

“Ih, nyebelin banget!” Neda mengernyit jijik. Cewek yang sekilas mirip penyanyi Anggun – dengan kulit gelap, rambut lurus panjang, dan badan semampai itu juga bergidik. “Kayak gitu kok, masih jadi guru? Laporin aja ke Bu Ida.” Bu Ida adalah guru BK mereka di SMA.

Rania menatap sepiring nasi goreng di depannya dan mendesah.

“Nggak usahlah,” katanya lemah. “Lagipula, gue juga bukan tukang ngadu. Nggak ada bukti, nggak ada saksi. Yang ada gue malah dituduh sentimen dan tukang fitnah lagi.”

—– // —–

Foto: Unsplash.com

Dear Diary,

Jadi orang dewasa enak banget, ya? Mereka bisa ngomong apa saja tanpa berpikir itu bakal nyakitin orang lain. Sialnya, mereka tetap minta dihormati. Apalagi sama remaja, yang sering banget mereka sepelekan. Memangnya aku nggak tahu pendapat mereka? Ababil, alias ABG (Anak Baru Gede) Labil. Seolah-olah remaja selalu emosional dan nggak bisa mikir. Pendapat dan perasaan mereka nggak pernah dianggap penting. Remeh. Mereka tahu apa, sih?

Sejak kejadian itu, aku jadi benci Pak Nova. Benci. Benci sekali. Sama bencinya aku dengan orang-orang yang memandangku dengan tatapan mencela, seolah-olah ekstra lemak di tubuhku sama dengan cacat fisik. Belum lagi iklan-iklan sialan yang begitu memuja cewek-cewek tinggi, kurus, berkulit putih, dan berambut lurus.

Mau tahu kata Mama dan Dania soal ucapan Pak Nova?

Dania: “Pak Nova emang gitu. Dia pasti milih anak OSIS yang cantik-cantik, bukan yang masuk kategori BIASA.”

Mama: “Ah, Rania.” (Waktu itu beliau mengucapkannya sambil tertawa, seolah-olah itu bukan masalah besar dan hanya aku-nya yang lebay.) “Gitu aja kok, terlalu dipikirin. Jangan terlalu sensitiflah.”

Malam itu aku hanya bisa melongo. Papa jauh lebih sibuk dengan makan malamnya. Beliau tidak mengucapkan apa-apa, meski jelas-jelas diberitahu kalau anaknya baru saja dihina. Sama guru sekolah pula! Waktu Bani dikatai ‘banci’ sama Pak Sofyan, pelatih tim basket, hanya gara-gara mereka kalah tanding – ayahnya langsung datang khusus mendamprat Pak Sofyan. Demi mencegah ‘ribut-ribut’ meluas, akhirnya Pak Sofyan dimutasi. Ya, meski pada akhirnya Bani juga pindah sekolah.

Belum hilang rasa shock-ku, Mama berbicara lagi:

“Justru kamu harus jadikan itu tantangan supaya terus berusaha.”

Ya, ya, ya. Tantangan untuk berusaha lebih kurus. Apalagi sih, yang diinginkan beliau dariku selain itu?

Rania.

—– // —–

Foto: Unsplash.com

“Ran, muka lo pucet banget,” tegur Neda pagi itu. Ditatapnya potongan kentang rebus, wortel, dan brokoli yang serba mini. “Hah, sarapan lo hanya itu? Biasanya lo bawa roti.”

Yang ditanya hanya diam, sambil mengunyah tanpa selera. Cahaya meredup di matanya.

“Jangan bilang,” lanjut Neda sambil duduk di sampingnya. Wajahnya tampak khawatir. “Nyokap lo nyuruh lo diet lagi, ya?”

“Untuk kesekian kalinya.” Rania mengangguk lagi. “Ned, lo mo tahu gue ngomong apa ma nyokap semalem – setelah nyuruh gue coba diet lagi dari puluhan diet lainnya yang udah beliau cekokin gue dari gue SMP?”

“Apa?”

’Ma, emang aku kelihatan sejelek itu, ya?’” Rania tertawa getir. Dia menggeleng. “Beliau cuma bilang: ‘Ya, kamu kan, bisa kelihatan lebih baik.’

“Oh, Rania.” Neda mendesah sedih. Makin sedih saat sahabatnya tiba-tiba menubruknya sambil menangis.

“Gue sebel, Ned!” isaknya. “Kenapa gue nggak kayak Dania? Kenapa badan gue harus kayak gini?”

Neda langsung memeluknya. “Sabar ya, Ran.”

“Gue mo mati aja.”

“Huss, jangan ngomong gitu, ah!”

“Biarin! Mama masih punya Dania. Mama nggak bakal kehilangan gue.”

“Ssh, udah…udah…”

—– // —–

Dear Diary,

Mau tahu ironisnya situasiku? Kalau yang mengataiku ‘gendut’ itu orang lain, aku nggak begitu sedih. Marah? Pastilah. Kalau yang mengataiku cewek, aku tinggal menyebutnya ‘jalang brengsek’ atau menjambak rambutnya sekalian sampai dia nangis. Biarin! Atau mungkin mencakar-cakar mukanya, biar lain kali nggak usah sok kecakepan. Toh, aku juga nggak pernah mau ganggu siapa-siapa. Ngapain sih, mereka harus usil?!

Kalau yang mengataiku cowok? Sama saja. Akan kupanggil mereka ‘bangsat’. Tabok, tonjok, tendang, timpuk, atau gebuk? Tinggal pilih. Aku udah nggak peduli lagi kalo gara-gara itu aku jadi nggak punya pacar? Emang ada cowok yang benar-benar mau jadian sama aku?

Eh, kok akhir-akhir ini aku jadi kejam, ya?

Tapi, selama ada Sami di sampingku, yang lain biasanya jadi nggak berani mengganggu. Cowok-cowok pada takut, karena – di balik sifatnya yang pendiam dan rada misterius, cowok berkaca mata yang tinggi besar itu jago berantem. Dia pernah bikin Rico, mantan pacar Neda yang egois, posesif, dan berandalan, babak-belur gara-gara cowok itu menampar Neda di kantin. Waktu itu Neda mutusin Rico karena emang udah lama nggak tahan sama kekasaran cowok itu.

Cewek-cewek centil yang biasanya menghinaku tiba-tiba juga jadi ekstra ramah kalau lagi ada Sami. Hah, dasar para kuntilanak ganjen! Memangnya aku nggak tahu kalo mereka naksir Sami? Huh, untung Sami nggak suka tipe macam mereka! Sami juga tahu mereka suka jahat sama aku.

Ah, baiknya Sami. Sahabat sejatiku. Aku tahu aku takkan pernah bisa menjadikannya pacar, karena dua minggu lalu akhirnya dia jadian sama Neda. Ya, nggak apa-apalah. Aku senang dua sahabatku bahagia. Aku sayang mereka. Lebih baik Neda daripada cewek-cewek itu. Hiih, amit-amit! Nggak sudi aku. (Lho, kok jadi aku yang ngatur?)

Entah kenapa aku sampai bertengkar dengannya kemarin. Banyak yang bilang, dua bulan terakhir ini aku sering uring-uringan. Marah-marah nggak jelas. Ah, siapa yang bisa ngerti? Memang, program diet ini mulai menunjukkan hasil yang nyata. Aku mulai kurus dengan cepat, meski sering pusing.

Masalahnya sepele. Sore itu, UKS sepi dan pintunya terbuka. Untuk kesekian kalinya aku kembali menimbang berat badanku. Entah kenapa, Sami tiba-tiba sewot.

“Lo ngapain sih, nimbang-nimbang melulu dari pagi? Kayak bakal mati aja kalo nggak turun sekilo!”

“Heh, lo tau apa, sih?!” bentakku sambil mendorongnya. Dia kaget. “Elo cowok! Elo nggak akan pernah ngerti! Elo mo berat ratusan kilo, orang juga nggak akan terlalu berisik! Cewek masih mau sama elo! Elo punya Neda! Gue punya siapa?! Nyokap lo juga sayang ama elo dan nggak pernah ngebandingin elo ama adek lo!”

Setelah itu, aku lari ninggalin dia sambil menangis – kayak adegan sinetron lebay dan basi yang kubenci. Biarin.

Tapi sekarang aku menyesal. Sebenarnya, Sami selalu baik. Dia betah mendengar cewek curhat, entah kenapa. Dia selalu bisa ngertiin aku, apa pun kondisiku.

Makanya, sekarang aku merasa jadi sahabat paling brengsek sedunia. Hah, sahabat? Memang masih pantas aku disebut demikian?

Ulang tahunku sudah dekat. Ah, persetan. Aku masih belum cukup kurus untuk membuat Mama (akhirnya) terkesan. Sebodo amat!

Aku juga telah kehilangan sahabatku. Hiks…

Rania.

—– // —–

Foto: Unsplash.com

“Selamat ulang tahun, Rania.”

Berdua, Sami dan Neda meletakkan kado-kado untuk sahabat mereka di atas meja samping tempat tidur.

Rania tidak menjawab. Matanya terpejam. Tubuhnya yang kini tampak amat kurus terbaring lemah di atas tempat tidur berseprai dan bantal putih. Selang infus menancap di lengannya yang pucat. Masker oksigen menutupi sebagian wajahnya yang sekarang tirus. Terdengar bunyi ‘bip-bip-bip’ yang pelan tapi konstan dari monitor jantung. Garis yang sedikit bergelombang di layar menunjukkan detak jantung Rania yang stabil.

Mata Neda basah. Digenggamnya tangan Sami.

“Rania nggak bermaksud marah sama kamu waktu itu.”

“Aku tahu.” Sami mengangguk. Dia sudah lama menyadari perubahan itu. Saat Rania makin pendiam dan mulai menarik diri. Saat cewek itu mulai susah diajak makan bareng dan enggan memandang cermin.

Hingga kejadian pas jam olah raga. Rania sama sekali tidak keluar dari toilet.

Neda-lah yang menemukan Rania terkapar di lantai. Sahabat mereka tak sadarkan diri. Ambulans pun dipanggil. Satu sekolah heboh.

Diagnosa dokter yang memeriksa Rania membuat Sami dan Neda bergidik. Rania menderita malnutrisi serius dan gangguan jantung akibat diet dan olah raga ekstrim. Satu ginjalnya juga mengerut karena kurang cairan.

Oh, Rania…

Tatapan Sami beralih kepada ibu Rania yang tampak lemas di sofa. Air mata penyesalan masih mengalir dari mata wanita itu saat memandangi putrinya yang terbaring koma. Sebuah buku harian bersampul merah tua berada di pangkuan beliau. Punya Rania.

Wanita itu sekarang hanya punya satu keinginan. Beliau hanya ingin putrinya bangun, agar bisa mendengar pujian itu. Agar dia tahu betapa ibunya juga sangat menyayanginya dan tidak pernah bermaksud menyakitinya.

“Kamu cantik, Rania. Maafkan Mama. Mama sayang kamu…”

-selesai-

“Moms, be sure to always make your daughters feel good about themselves.” (Bobbi Brown, make-up artist)

(Jakarta,11 – 18/12/2011 – diedit lagi: 26/8/2015)

Exit mobile version