Perjalanan Senja Gadis Senja Bermalam di Tempat Seram

Bermalam di Tempat Seram


Bermalam di Tempat Seram

“Gue udah daftar. Tinggal tunggu panggilan.”

            “Hah, becanda lo?!”

            “Gue kepepet, Nes. Udah dua bulan nunggak tagihan kos.”

            Kedua mahasiswi tahun pertama itu bertukar pandang malam itu. Kebetulan kafe kampus lagi sepi, jadi keduanya bisa mengobrol dengan leluasa.

            Nessa menatap Rere yang tampak galau. Agak kesal, gadis mungil berwajah manis itu berkacak-pinggang. Ekspresinya sekarang tampak galak.

            “Berapa?”

            Rere memandangnya dengan tatapan kosong. Sahabatnya pun makin galak.

            “Rere!”

            “Hampir satu setengah juta…untuk dua bulan.”

            Nessa melongo karena kaget. “Elo ‘kan bisa pinjem duit gue dulu!”

            Rere menggeleng sambil tersenyum tipis. Nessa berasal dari keluarga lebih berada, tidak seperti dirinya. Memang, gadis itu baik sekali. Namun, almarhum Papa sudah mengajarkannya agar jangan terlalu bergantung pada (belas kasihan) orang lain. Sebisa mungkin juga jangan sampai berhutang.

            TV di kafe itu menayangkan iklan sebuah program acara realita salah satu stasiun lokal. Dengan latar suram dan muram sebuah rumah besar yang lebih cocok jadi kastil berisi hantu, seorang gadis menghadap kamera. Rambut hitamnya yang sebahu tergerai. Dia berpakaian serba hitam, dengan eyeliner yang membuat penampilannya makin mirip putri goth.

            “Berani terima tantangan kami?” tanyanya dengan nada sendu. “Daftarkan diri Anda ke alamat di bawah ini.”

            Tampak deretan caption berupa nama studio, alamat, nomor telepon (dan ponsel), situs, e-mail, hingga media sosial acara yang bersangkutan terpampang di layar. (Banyak, ya?) Sementara itu, host bergaya goth tadi masih menatap kamera dengan mata nyalang.

            “Saya Yuni Marinka, untuk acara ‘Bermalam di Tempat Seram’…”

            Wajah Nessa memucat. Entah kenapa, perasaannya makin tidak enak. Ditatapnya gadis tinggi besar di hadapannya.

            “Re, lu beneran mau ikutan acara kayak gitu? Serius??”

— // —

            “Mbak Reda siap-siap, ya. Kru BTS akan menjemput Mbak siang ini. –Dadang- “

            Rere melirik SMS itu sekilas, sebelum membalasnya singkat: “Oke.” Lalu dia mengintip keluar kamarnya. Bu Anna sudah pergi. Bagus. Berarti situasi aman baginya untuk keluar dan pergi ke kampus.

            Sebenarnya tidak enak bagi Rere untuk menghindari Bu Anna seperti ini. Bu Anna sebenarnya juga baik, bukan tipikal ibu kos yang galak dan cerewet menagih. Namun karena kalem, banyak yang malah jadi segan sama beliau. Di balik kalemnya, Bu Anna pernah melaporkan salah satu mahasiswi, yang pernah ketahuan ‘menyelundupkan’ lelaki ke dalam kamar kosnya, kepada orang tuanya. Sejak peristiwa itu, penghuni lain tidak berani berbuat yang ‘aneh-aneh’ – sesuai larangan yang tercantum pada papan peringatan di samping kulkas Bu Anna. Mereka ngeri.

            Ah, andai saja Mama tidak jatuh sakit, hingga kiriman uang sempat terhambat. Andai saja gaji di kafe kampus mencukupi. Andai saja semua cerpen kirimannya ke majalah-majalah remaja selalu menghasilkan uang banyak…

            Dan beragam ‘andai-andai’ lainnya…

            Saat menonton “Bermalam di Tempat Seram”, Rere langsung terinspirasi untuk mendaftar. Maklum, hadiahnya cukup menggiurkan. Dua setengah juta rupiah, hanya untuk bergadang semalaman di tempat angker pilihan produser TV acara yang bersangkutan.

            Kurang dari seminggu setelah pendaftaran, akhirnya Rere dinyatakan diterima sebagai peserta acara tersebut. Tentunya setelah Rere mengirimkan surat pernyataan kondisi kesehatannya dari dokter di kampus. Nggak mau ‘kan, di tengah-tengah acara Rere mendadak kena serangan asma atau jantung karena ketakutan? Hiih!

            Kru TV acara ‘BTS’ akan menjemput Rere Sabtu ini, segera setelah jam kuliah terakhir di siang hari. Karena itulah, malam sebelumnya, gadis tomboy berambut pendek dan ikal itu sibuk packing. Tak perlu terlalu banyak membawa baju dan barang-barang yang dirasa tidak perlu. (Hanya akan memberatkan isi ranselnya!) Paling yang penting pakaian nyaman, jaket (karena takut akan masuk angin saat harus bergadang semalam suntuk nanti), dan perlengkapan ibadah. (Memang, di lokasi sudah ada paranormal yang berjaga-jaga kalau tiba-tiba – idih, amit-amit! – Rere kesurupan. Moga-moga sih, enggak. Jangan sampai aja!)

            Fiuh, akhirnya selesai juga. Rere menatap bayangannya sendiri di cermin dengan perasaan galau.

            Jujur, sebenarnya dia deg-degan…

— // —

            Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga.

            Kru ‘BTS’ yang berpakaian serba hitam menjemput Rere di kampus. Tanpa pikir panjang lagi, Rere langsung naik ke dalam van mereka. Gadis itu melambai ceria pada Nessa yang masih tampak was-was. Setelah itu, Rere menghabiskan sepanjang perjalanan ke lokasi syuting dengan berkenalan serta mengobrol dengan para kru. (Yuni Marinka ternyata tidak seseram di TV. Baik, ramah, dan gak sok seleb.)

            Rere sempat jatuh tertidur. Entah berapa lama, karena tahu-tahu dia dibangunkan. Rupanya mereka sudah sampai di tujuan. Hari sudah malam.

            Melalui jendela van, Rere bisa melihat sebuat vila di daerah Puncak. Vila itu tampak seperti vila tua dan berlantai dua. Kata Mas Dadang, produser acara, vila itu akan dirobohkan dalam dua minggu ini oleh pemerintah daerah setempat. Beragam rumor sempat terdengar. Ada yang bilang, pemiliknya menghilang entah kemana. Kata penduduk setempat, pernah terjadi pembunuhan di dalam sana. Ada juga yang mengaku pernah – dan sering – menyaksikan ‘penunggu vila gentayangan’.

            Dan sekian banyak ‘katanya’ yang lain…

            Entahlah. Rere enggan memikirkannya. Yang dia tahu, dia hanya butuh uang.

            Rere menanti di van yang pintunya terbuka, sementara para kru menyiapkan setting lokasi. Tampak Yuni tengah berbicara di depan kamera, menceritakan lokasi dan sejarahnya kepada pemirsa di rumah.

            Brr…Rere menggigil. Entah kenapa, tiba-tiba angin malam berhembus cukup kencang. Dingin sekali. Gadis itu menunduk dan menaikkan retsleting jaketnya…

            “Permisi…”

            “AAAH!” Rere mendongak dan langsung menjerit kaget. Pemuda kurus dan pucat di depannya juga begitu. Bahkan, secangkir teh di tangannya sampai memercik sedikit ke seragam hitamnya.

            “Maaf, maaf,” katanya panik. “Saya hanya mau kasih teh dari kru untuk Mbak.”

            Jantung Rere masih berdebar-debar tak karuan. Pelan-pelan dia kembali mengatur napasnya, sebelum menerima teh yang masih lumayan mengepul-ngepul uapnya.

            “Nggak apa-apa, Mas,” katanya. Sambil sesekali meniup-niup teh, Rere juga mengendusnya, hmm, harumnya teh melati. “Makasih, ya.”

            “Sama-sama, Mbak.”

            “Ah, panggil saja Rere.” Entah kenapa, sosok di depan mata Rere menarik juga. Mukanya imut-imut, seperti versi mudanya Boy William. “Mas kru BTS juga? Kok tadi gak semobil sama saya?”

            “Saya sudah duluan di sini sebelum kalian datang,” katanya. “Nama saya Edo, gak perlu pakai ‘Mas’.

            “Oke.” Rere menyeruput tehnya dengan nikmat. Tiba-tiba Mas Dadang memanggil dari arah vila:

            “Mbak Rere!”

            Sosok lelaki paruh baya berkaca mata itu menghampiri Rere yang masih duduk di ambang pintu van. Mas Dadang memakai jaket hijau di atas seragam hitamnya.

            “Sudah siap?”

            Rere mengangguk. Saat menoleh ke tempat Edo berdiri tadi, pemuda itu sudah lenyap entah kemana. Tanpa permisi dan cepat sekali. Tak terdengar langkahnya sama sekali.

            Ah, mungkin dia sudah harus kembali bertugas, batin Rere. Pasti sibuk sekali…

— // —

            Ternyata menjadi peserta ‘BTS’ tidak seseram yang selama ini dibayangkan oleh Rere. Membosankan malah, alias bikin ngantuk.

            Pertama, para kru memasangkan rompi bermikrofon mini dan topi berkamera pada Rere. Cukup berat. Tugas Rere hanya masuk seorang diri ke dalam vila tersebut dan melaporkan semua yang mungkin dia lihat, dengar, dan rasakan.

            Jika Rere merasa ketakutan dan ingin menyerah, dia bisa lari keluar vila atau sekedar melambai pada kamera yang telah dipasang di dalam vila oleh para kru.

            Hal itu tak pernah terjadi. Rere hanya melaporkan suara-suara biasa yang terdengar ‘normal’, alias tidak mistis. Bunyi kresek-kresek di balik lemari tua. (Mungkin tikus.) Angin dingin yang kerap berhembus, seperti dari segala arah.

            Itu saja. Tidak ada ‘penampakan’ atau semacamnya. Aman.

            Setelah pagi menjelang, Rere dipersilakan keluar dari vila oleh para kru. Saat matahari mulai menerangi langit, Rere dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menerima dua juta rupiah – tunai dalam amplop! Senangnya.

            Para kru kembali mengantar Rere ke tempat kosnya. Di tengah jalan, tiba-tiba Rere teringat akan Edo. Dia berpaling pada Mas Dadang yang tampak amat mengantuk.

            “Mas Dadang, kru yang namanya Edo tadi udah pulang duluan, ya?”

            “Edo?” Kening Mas Dadang berkerut. “Malam tadi gak ada yang namanya Edo. Dia dari divisi lain.”

            “Dan dia lagi cuti,” kata Yuni, yang tampak sama bingungnya. “Kecuali kalo dia iseng ngintilin kita. Bukan kebiasaan dia, sih.”

            “Oh.” Rere kecewa. Tapi, tak lama kemudian dia jatuh tertidur. Ngantuk berat!

— // —

            “Ternyata nggak seseram yang dikira.”

            Nessa mendengarkan cerita Rere dengan takjub. Seminggu berlalu sejak Rere ikut ‘BTS’. Akhirnya, hutang kepada Bu Anna lunas. Mama di luar kota juga sudah sehat walafiat. Rere senang sekali!

            “Iih, gue sih, gak bakalan berani.” Nessa bergidik ngeri. Kedua gadis itu berhenti di depan kos Nessa. “Tapi gue tetep penasaran gimana elo ngadepinnya. Makanya malem ini gue mau nonton.”

            Rere tertawa. “Silakan,” katanya. “Gue mah, mending tidur.”

            Mereka berpisah dan Nessa memasuki kosnya. Di ruang tengah, dua temannya – Agni dan Lita – tengah menonton ‘BTS’. Keduanya memanggil Nessa begitu melihat gadis mungil itu.

            “Nes, temen lo, nih!”

            Ketiganya langsung nonton dengan serius. Tampak Rere sedang menghadap kamera, melaporkan bahwa dia tidak melihat keanehan apa pun di sekitarnya. Wajahnya tampak tenang…dan nyaris bosan malah.

            “Nes…Lit…itu…” Agni tak melanjutkan komentarnya. Ketiga gadis itu tercekam ngeri saat melihat sosok lain di belakang Rere.

            “Itu…itu bohongan, kan?”

— // —

            Malam itu Rere sempat tertidur. Dalam mimpinya, Rere kembali berada dalam vila itu. Para kru sudah menyuruhnya keluar, tapi entah kenapa pintunya tidak ketemu…

            Rere terbangun – dan nyaris menjerit kaget melihat sosok kurus dan pucat itu berdiri di hadapannya di dalam kamar.

            “Edo?!” Astaga, bagaimana dia bisa masuk?

            “Hai, Rere.” Edo tersenyum. Entah kenapa, ada yang janggal. Dalam temaram cahaya lampu meja Rere, pemuda itu tampak begitu pucat. Luar biasa pucat, disertai lingkaran gelap di sekitar matanya.

            “K-kok k-kamu – “

            “Aku mengikutimu sampai sini,” Edo mengakui. Senyumnya makin lama tampak mengerikan. “Aku suka kamu, Rere.”

            Rere menggigil, tak hanya karena ketakutan. Rasanya seperti ada angin dingin yang berhembus lagi, kali ini di kamarnya. Persis seperti waktu di vila dulu. Tatapan Rere jatuh ke lantai dan dirinya makin dicekam teror.

            Kaki Edo tidak menapak lantai. Dia melayang…

            “AAARRRGGGHHH!!!”

-SELESAI-

(Jakarta, 28/1/2014 – 11:00 pm sampai 27/2/2014 – 1:00 pm)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.