Site icon Perjalanan Senja

Berikan Aku Waktu

Tolong… berikan aku waktu lagi!

Tuhan sepertinya memang tidak pernah (dan tidak akan pernah) mendengar doaku. Sampai sekarang, tidak ada satu pun permintaanku dikabulkan.

Bahkan, di saat terakhirku pun, tidak diberikan. Aku hanya meminta waktu lagi untuk menikmati hidupku.

Yah… mungkin memang salahku. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menggunakan waktuku dengan baik.

***

Malam semakin larut. Rata-rata semua orang di sekitar sini telah bergelung di balik selimut mereka semua. Apalagi malam ini, dingin terasa menusuk tulang.

Sedangkan aku? Aku masih berjalan menuju apartmentku. Tidak jauh lagi, batinku.

Kalau saja, Michael tidak mengajakku untuk dugem hari ini, aku sudah seperti yang lain, berselimut tebal dan menikmati mimpi seperti malam-malam sebelumnya.

Tiba-tiba, di hadapanku tampak segerombol pria yang tak kukenal sama sekali. Bukan orang sekitar sini, batinku.

Aku pun berusaha menghindari mereka. Mencari celah di sekitar mereka. Namun, tampaknya mereka tidak mau melepaskanku. Dicengkramnya kedua lenganku. Tak lama, aku pun merasakan sebuah benda tajam merasuk perutku.

Lagi…

Lagi…

Lagi…

Dan lagi…

“Tolong… berikan aku waktu lagi!”

***

Tuhan sepertinya memang tidak pernah (dan tidak akan pernah) mendengar doaku. Sampai sekarang, tidak ada satu pun permintaanku dikabulkan.

Bahkan, di saat terakhirku pun, tidak diberikan. Aku hanya meminta waktu lagi untuk menikmati hidupku.

Yah… mungkin memang salahku. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menggunakan waktuku dengan baik.

***

Dua hari lalu, aku bertemu dengan Cyntia. Sosoknya masih secantik dulu, saat kuliah. Pikiranku pun sempat berkelana mengenang kedekatan kami. Setiap hari kami habiskan bersama. Hingga…

“Aku ingin putus! Pacaran denganmu memang menyenangkan. Namun, kita takkan beranjak ke mana pun. Kamu terus mengajakku jalan, makan hingga nilaiku sendiri mulai merosot. Papa sudah ultimatum. Kalau semester ini aku tidak dapat IPK yang diinginkannya, aku akan dipindahkan ke luar negeri.”

Aku hanya ingin menikmati hidup berssama dia…

Aneh… pikirku saat itu. Di mana-mana, pacaran memang untuk senang-senang. Kenapa harus memikirkan begitu banyak hal lainnya. Nilai. Prestasi. Persetan dengan semua itu.

Aku hanya ingin menikmati waktuku selagi muda.

Yah, saat itu kami pun putus. Segera kutemukan penggantinya. Kuteruskan kebiasaanku. Berulang. Berulang. Berulang.

“Kamu tuh… masih seperti dulu. Tidak peduli dengan masa depanmu.”

“Duh, Cyn. Baru juga ketemu, udah marahin gw aja!”

“Ya kamunya emang pantas sih. Dah mau 25, tapi kuliah aja belum selesai sampai sekarang. Mau jadi apa? Memang sih… keluargamu sangat kaya. Tapi…”

“Yaelah… kalau lo ngajak ketemuan cuma mau bahas ini, mending gw balik aja. Siapa lo, coba ngatur-ngatur gw…” Aku pun ingin beranjak dari kursiku.

“Dimas!!! Gw tuh ke sini karena ortu lo! Mereka worry sama lo!”

Aku tidak mendengarkan, lebih tepatnya tidak mau mendengarkan perkataannya dan beranjak meninggalkan cafe itu.

Catatan: video ini tidak terkait dengan cerita fiksi ini, hanya intermezo biar gak bosen saja… Beri aku waktu lagi…

***

Aku tidak tahu siapa mereka. Apa masalah mereka hingga melakukan ini padaku. Aku pun tidak pernah mencari masalah dengan mereka.

Kupegang perutku yang mulai memerah. Mereka telah meninggalkanku, seorang diri. Mereka pun tidak mengambil apapun dari dompetku, jadi bukan perampok.

“Tolong… beri aku waktu lagi!”

***

Tuhan sepertinya memang tidak pernah (dan tidak akan pernah) mendengar doaku. Sampai sekarang, tidak ada satu pun permintaanku dikabulkan.

Bahkan, di saat terakhirku pun, tidak diberikan. Aku hanya meminta waktu lagi untuk menikmati hidupku.

Yah… mungkin memang salahku. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menggunakan waktuku dengan baik.

***

Kemarin, aku bertemu dengan Doni, kakak keduaku. Dia mengajakku bertemu di kantornya. Kantor papa sih sebenarnya, namun sekarang dia yang mengambil alih sesuai perintah papa.

Doni yang lulusan universitas luar negeri memang dirasa pas dengan posisi itu. Dia pun senang melakukannya. Seperti saat ini, aku duduk di hadapannya yang sedang mengecek beberapa dokumen sebelum ditandatanganinya.

“Lo itu, kapan selesai kuliahnya? Cepetanlah. Bantu gw di sini.”

“Ah… males banget sih. Jauh-jauh gw ke sini, cuma buat ditanyain kayak ginian.”

“Dimas… gw ini kakak lo. Gw juga khawatir kale soal lo. Lo itu dah masuk tahun ke 7 ini. Kalau saja papa gak pakai koneksinya, sejak 2 tahun lalu, lo udah di DO kali.”

Aku hanya diam. Jujur, aku paling malas mendengarnya. Segala sesuatu terkait kuliahku itu menyebalkan. Aku hanya ingin menikmati hidupku saja.

“Kalau lo udah lulus, lo bisa langsung mulai bantu gw di sini. Banyak yang diharapkan sama papa dan mama dari lo. Gw juga gitu. Gw yakin lo bisa, tapi lo-nya aja yang gak mau.”

“Iya… gw emang gak mau. Makanya, gak usah paksa gw lah. Kalaupun harus di DO, ya DO aja. Gak ada yang minta papa pake koneksinya kan. Males gw dengernya. Gw cuma mau nikmati hidup gw aja.”

“Dimas… lo tuh laki. Lo harus mikirin masa depan lo. Mang mau jadi apa kalau lo cuma mau senang-senang doang sekarang? Sampai kapan? Umur lo juga nambah terus kan.”

“Ah… udah deh. Gak usah ikut pusing soal gw. Dah ah… kalau gak ada yang penting lagi, gw keluar.” ujarku sambil mengambil langkah meninggalkan kantornya.

***

Udara di sekitarku rasanya semakin dingin. Beku, bahkan! Kurasa, ini memang sudah detik-detik waktu terakhirku di dunia ini.

Aku pun tidak bangga dengan apa yang sudah kulakukan selama ini. Namun, semua tidak ada yang paham denganku. Semua menginginkan aku begini. Aku harus begitu, tapi tidak satupun mau mendengarkanku sama sekali.

Aku hanya ingin menikmati masa mudaku. Itu saja. Hidup seperti yang kuinginkan. Senang-senang.

Namun, sepertinya semua harus berakhir di sini. Walau kuminta berkali-kali, sepertinya Tuhan tidak mendengarku.

“Tolong… beri aku waktu lagi!”

Kuucapkan sekali lagi, mungkin akan ada perubahan. Namun, aku sudah lelah. Aku ingin tidur.

Exit mobile version