Perjalanan Senja Gadis Senja Bella dan Si Bully

Bella dan Si Bully


Bella

“Belel…Belel…”

Duh, mahluk ini lagi! rutuk Bella dalam hati. Sarapan di kantin kampus yang tadinya berlangsung damai jadi terganggu oleh suara itu. Cowok jangkung, kurus, dan hobi nyengir jelek itu langsung duduk di sampingnya tanpa permisi.

“Heh, dipanggil dari tadi kok, gak nyahut, sih?” Sosok yang ganggu banget itu masih nyerocos. Sok-sok mau merangkul Bella, namun cewek berambut sebahu itu langsung menepis tangannya dengan sengit. “Budek, ya?”

“Gue baru bakalan nyahut kalo elo udah bisa nyebut nama gue dengan bener,” tukas Bella dengan nada tinggi. Ini udah ke sekian kali terjadi. Heran, deh. Kok orang ini gak ngerti-ngerti?

“Iya, deh. Gue ‘kan cuma bercanda, sayang.” Bella mengernyit jijik mendengar panggilan itu. ‘Sayang’? Idih, norak. Dia pikir dia siapa? Boro-boro pacar, Bella ogah berteman dengan Billy ‘Si Bully’.

“Bercandaan lo gak lucu.”

“Aah, elo aja kali yang baperan.”

“BODO AMAT!!” bentak Bella yang akhirnya berdiri. Untung sepiring batagor yang jadi sarapannya sudah tandas. “Elo gak berhak dateng-dateng cuma buat ganggu gue, terus abis itu maksa-maksa gue harus suka sama jokes elo yang salty banget, tauk!”

Kemudian cewek itu langsung ngeloyor pergi dengan muka jengkel. Billy tampak agak kaget, meskipun masih berusaha menutupinya dengan tawa yang agak dipaksakan.

“Bel-Bella! Astaga, gue cuma bercanda kali.”

-***-

Entah kenapa, Billy sepertinya sentimen sama Bella. Sejak pertama kali bertemu, cowok itu udah cari gara-gara. Dia memanggil Bella dengan sebutan ‘belel’ karena waktu itu Bella pakai jins yang robek-robek di bagian lutut ke kampus. Dengan cueknya cowok kerempeng bermuka tengil itu menyorakinya dari jauh:

“Woooiii, cantik-cantik kok, jins-nya belel?”

Waktu itu, muka Bella langsung memerah karena malu. Apalagi, banyak yang tertawa menyaksikan kejadian itu, terutama cowok-cowok lain yang saat itu tampak jelas sedang nongkrong bareng Billy. Menjengkelkan sekali.

“Udah, cuekin aja, Bel,” bisik Chika, teman sekelas yang jalan di samping Bella. “Si Billy emang suka caper. Modal bacot doang.”

Idih. Bahkan begitu tahu nama aslinya, Billy tetap mengajaknya dengan panggilan yang sama. Belel. Kadang berupa kombinasi seperti ‘Bella Belel’. Dia makin menjadi-jadi setiap kali Bella pasang tampang kesal.

“Billy naksir elo kali,” tebak Desi dengan seringai jahil. “Cowok ‘kan, suka ada yang kayak gitu. Sebenernya naksir, tapi gengsi. Makanya jadi caper dengan gangguin cewek yang mereka suka terus.”

Alis Bella terangkat sebelah. Memang sih, dia pernah mendengar soal itu. Tapi, tetap saja cewek itu gak terima.

“Kalo pun Billy suka sama gue, ya gak gini dong, caranya. ‘Kan bisa ngomong langsung, jangan kayak pengecut gini.”

“Bella, emang ada cowok yang caranya gini-“

“Trus gue harus ngertiin dia, gitu?” tantang Bella sengit. Desi langsung diam. “Harus bisa baca pikirannya gitu, cuma karena banyak yang percaya kalo cewek lebih ngandelin emosi sama insting ketimbang otak? Sori, itu bukan alasan. Cara kayak gitu buat gue udah basi! Kalo dia bisa bersikap lebih dewasa, mungkin dia gak bakalan susah dapet cewek mana pun sekarang.”

Sesudah itu, Bella ngeloyor pergi. Mungkin banyak cewek lain yang bisa memahami dan memaklumi kelakuan Billy yang menurutnya ‘ganggu abis’. (Bahkan, mungkin juga ada yang diam-diam berharap mereka-lah yang digodain Billy, alih-alih Bella.)

Tapi, Bella bukan mereka. Pokoknya, Bella hanya mau pacaran sama cowok yang udah bisa bersikap dewasa dan konsisten dengan hal tersebut. Titik.

Kayak Fajar dong, ketua angkatan yang akhir-akhir ini sering ngajak Bella jalan bareng. Tuh, lihat. Selesai kelas saja, cowok berkacamata dan senyum manis itu sudah menunggunya di luar.

“Hai, Bella.”

“Hai, Fajar,” sapa Bella sumringah. Nah, ini dia. Gak perlu caper dengan gaya yang ‘ganggu abis’, dia cukup jadi diri sendiri dan bersikap baik. Pokoknya, yang wajar-wajar aja, deh. Fajar juga cerdas, serius, dan dewasa. Gak cakep sih, tapi Bella gak butuh cakepnya seorang cowok.

“Bella?”

“Ya, Fajar?” Napas Bella tertahan. Fajar meraih tangannya dengan lembut dan hati-hati…

…sebelum membuat hari bersejarah yang paling membahagiakan Bella selama di kampus.

-***-

“Lu kalah cepet dari si Fajar, bro.”

“Berisik lo!” Billy manyun. Akhir-akhir ini, dia sering uring-uringan. Kabar Bella jadian sama Fajar si ketua angkatan jurusan Komunikasi Massa di kampus mereka begitu mengganggunya.

Sekarang, rasanya gak enak kalo mau mengganggu Bella seperti dulu di depan umum. Manggil-manggil dia dengan sebutan ‘belel’ di depan si Fajar? Wah, bisa habis Billy dihajar!

Lalu, apakah si Bella jadi kangen sejak berhenti digodain Billy? Gak juga, tuh. Malah, cewek itu sekarang jauh kelihatan lebih cantik dan bahagia. Ah, kenapa bukan Billy yang membuatnya merasa demikian?

Entah kenapa, akhirnya Billy nekat memutuskan untuk kembali menghampiri Bella saat sedang sendirian. Gara-gara obsesinya yang menyedihkan sama cewek ini, kelakuan Billy sekarang jadi mirip stalker. Mungkin Bella akan semakin menganggapnya creepy, alih-alih romantis seperti anggapan kebanyakan orang.

Ya, lagi-lagi Billy mengganggu Bella saat sarapan pagi di kantin kampus, seperti biasa.

“Bella…”

Cewek itu terperanjat dan langsung menatapnya dengan sorot mata waspada. Duile, lebay, gerutu Billy dalam hati. Tak lama, Bella tersenyum…namun sinis.

“Akhirnya bisa juga lo nyebut nama gue dengan bener,” sindirnya tajam. Ucapannya begitu menusuk hati. Billy harus menahan diri untuk tidak mendamprat cewek cantik di depannya ini.

“Bel, gue-“

“Gue bukan bel.”

“Iya, Bella.” Meskipun kesal, Billy masih berusaha mengatur napas. Dia memberanikan diri untuk bertanya, “Denger-denger lo baru jadian sama Fajar, ya?”

“Iya.” Bella mengangguk mantap. Wajahnya tampak tenang, sekaligus bangga. “Terus kenapa?”

“Kok bisa?” Ups, salah ngomong. Mata Bella sekarang melotot. Bahaya.

“Maksud lo?”

“Elo ‘kan, galak banget kalo sama cowok.” Astaga, Billy. Diam, perintahnya dalam hati. Diam sekarang juga. Mulut lo emang perlu ditabokin kadang-kadang…eh, sering.

“Gue cuma galak ama elo,” Bella langsung mengoreksinya. Cewek itu berdiri dan sekarang keduanya berhadapan, persis dua jagoan siap duel di film-film aksi koboi rilisan Hollywood. “Dan elo tau kenapa.”

“Bel, gue ‘kan cuma bercanda-“

“Dan elo udah liat gue gak suka, tapi elo sama sekali gak peduli,” potong Bella cepat. “Ya, ‘kan? Elo juga dengan brengseknya malah ngatain gue baperan!”

Brengsek? Aduh, ternyata selama ini Bella sudah semarah itu padanya. Apakah sekarang sudah terlambat bagi Billy?

“Sori, Bel,” kata Billy terbata-bata. “G-g-gue gak ber-m-maksud bikin lo b-b-bete selama ini…” Cowok tengil ini sekarang gelagapan. “Se-se-sebenernya…g-g-gue-“

“Apaan?”

“-suka elo!”

Hening sesaat. Keduanya masih bertatapan. Bella melotot terperangah, sementara Billy makin salah tingkah. Sementara itu, anak-anak lain mulai meramaikan kantin kampus dan ikut menonton dengan ekspresi tertarik. Lumayan, ada aksi live sinetron gratisan, mungkin begitu pikir mereka.

Bahkan, sudah ada beberapa yang mengeluarkan ponsel dan siap memotret maupun merekam.

“Terus?” tanya Bella, masih dengan juteknya. Billy gelagapan dan terus terbata-bata:

“G-gu-gue suka g-ga-gangguin lo k-ka-karena gue c-c-“

“Caper?” tebak Bella. Ketika Billy mengangguk lemah, cewek itu langsung melanjutkan tanpa ampun:

“Gue gak tahu dan gak mau peduli, sinetron atau drakor macem apa yang lo tonton. Apa yang bikin elo percaya kalo cewek yang udah jelas-jelas gak suka sama gaya bercandaan lo bakalan suka sama lo?”

Skak-mat. Kembali Bella ngeloyor meninggalkan Billy yang kini jadi ledekan dan bahan tertawaan anak-anak lain di kantin kampus. Wajah cowok itu kini tampak memelas sekali.

Duh, kenapa dulu dia sok gengsi? Cewek yang benar-benar disukainya kini pergi karena salah paham dan terlanjur benci…

  • Selesai –

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.