Site icon Perjalanan Senja

Bad Hair Days

Photo via Unsplash

Pernah aku amat membenci iklan shampo di TV. Menurutku iklan-iklan itu lebay (berlebihan) dan mendiskriminasikan cewek-cewek yang rambutnya nggak panjang, hitam, dan…ah, lurus! Kesannya hanya itu yang jadi ciri-ciri mutlak rambut rapi, indah, dan idaman lawan jenis. Yang lain nggak masuk hitungan. Bah!

Contohnya aku. Sejak SD, beragam julukan pernah melekat di rambutku yang jauh dari kriteria iklan shampo. Lebat dan kriwil (meski syukurlahmasih cukup hitam.) Mulai dari si kribo, gimbal, hingga hutan Amazon berjalan. Menyebalkan! Belum lagi fakta bahwa di rumah pun, aku minoritas. Nggak ada yang keriting, baik Papa, Mama, kakakku Andhara, hingga adikku Aldo. Gara-gara itu pula waktu kecil Andhara dan Aldo sempat berkomplot menggodaku dengan spekulasi, “Jangan-jangan Mama dulu salah ambil bayi di rumah sakit.” Jahat!

Waktu itu Mama sampai menengahi, “Nggak mungkinlah. Arina mirip Papa, kok.”

“Mirip gendutnya!” Aldo langsung cekikikan, lalu kabur begitu kukejar. Sumpah, ingin kugiling itu bocah sampai jadi martabak kalau perlu! Kan enak, hehe.

Beranjak kuliah, hanya dua yang belum hilang. Pertama, keritingku. (Ya, iyalah!) Kedua, rongrongan Andhara yang – entah kenapa – ngebet banget ingin melihatku dengan rambut lurus. Padahal, yang punya rambut saja nggak ribut!

“Sekaliii aja, Rin!” pintanya memelas. (Dasar aneh!) “Gue penasaran ama hasilnya.”

Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Bukannya kegiatan dia banyak, daripada ngurusin rambut adiknya?

“Emang rambut gue kenapa?” tantangku.

“Nggak rapi!” balas Andhara ngotot. Tuh, kan. Lagi-lagi…

“Tapi ini kan, udah disisir!” bantahku nggak mau kalah. Lagipula, nggak banyak mahasiswi dengan rambut begini. Yah, meski ada yang lumayan kurang kerjaan dengan menyebutnya arum manis atau sarang tawon. Grrr…

“Nggak keliatan lagi,” Andhara masih ngotot. “Coba aja sesekali dilurusin. Biar cantik!”

Jlep! Rasanya pisau dapur Mama tiba-tiba terbang dan menancap di hatiku dengan sukses. Hiks, hiks, jahaaat! Mentang-mentang dia jangkung, langsing, berambut panjang dan lurus, dan lebih banyak disukai cowok-cowok…

 

—//—

 

“Nyante aja lagi, Rin,” saran Joe, salah satu teman kampusku yang jangkung, ramping, dan hobi berdandan serba hitam. Oh, pangeran gothic dambaan hatiku. “Yang lebih penting tetap kepribadian bagus.”

“Iya.” Setyo, temanku yang kurus dan pemikir juga sepakat. “Orang boleh ngomong apa aja selama lo tetep pede jadi diri sendiri.”

Hah, jadi aku harus tetap menerima betapa usilnya mulut sesama manusia? Aduh, kapan mau damai ini dunia?

“Udah, cuekin aja kakak lo yang kurang kerjaan itu!”

Lain halnya teman-temanku yang cewek, plus Rinto yang ‘gemulai’.

“Coba aja, Rin,” saran Chandra si mungil. “Siapa tau lo berhasil.”

“Mungkin dengan gitu cowok-cowok mulai lebih ngelirik elo.” Maria si penggila cowok langsung berbinar-binar matanya – persis karakter manga.

Aku langsung mendelik sebal padanya. Memang kenapa kalau di umur 18 tahun ini aku masih jomblo? Nggak ada hubungannya sama rambutku, kan?

“Well, it’s a good sign,” kata Rinto senang. Cowok kerempeng yang hobi pakai kaos ketat itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Gue siap mencatok rambut lo kapan saja dibutuhkan, setelah lo sukses meluruskan rambut lo.”

Sambil menyipitkan mata, kuacungkan tinju ke wajah tirusnya.

“Coba saja kalau berani.”

 

—– // —–

 

Selanjutnya bisa ditebak.

Entah apa yang membuatku akhirnya mengalah pada keinginan Andhara. (Aneh memang, mengingat ini rambutku.) Mungkin karena lama-lama aku gerah juga oleh rengekannya. Maklum, meski anak sulung, Andhara selalu menuntut agar semua keinginannya dipenuhi. Kalau tidak, dia pasti ngambek. Payah memang.

“Oke, tapi hanya sekali ini,” kataku, saat Andhara meyakinkanku bahwa dialah yang akan membayari biaya ke salon. Selain kuliah, dia juga kerja part-time di salah satu day care centre di Jakarta.

Jadi, di situlah kami pada Minggu pagi. Mama, Andhara, dan aku di salon bernama Blue 21, langganan Andhara. Entah kapan kakakku booking janji dengan penata rambutnya. Pokoknya, aku tinggal melakukan tiga D dan satu M favorit para pejabat saat rapat: Datang, Diam, dan Duduk yang Manis. (Kalau bisa pakai satu T, yaitu Tidur.)

Maka, dimulailah siksaan sehari penuh. Kenapa siksaan? Karena aku bukan cewek pencinta salon!

Pertama, mereka mengeramasi rambutku dengan tiga macam cairan dari tiga botol berbeda. (Mengingat aku amat jarang ke salon, aku hanya bisa menebak dua botol pertama: shampo dan conditioner. Entah apa isi botol ketiga. Yang pasti, ada keharuman asing yang memabukkan!)

Lalu, aku disuruh duduk di depan cermin saat mereka mulai ‘mengerjai’ rambutku. Satu orang menyisir dan menggunting ujung-ujung helai untuk merapikan rambutku. Ada yang mengoleskan cairan kental dari botol hitam yang sekilas mirip ramuan dokter gila di film-film sci-fi. Belum lagi rambutku yang ditarik-tarik dalam rangka ‘membunuh’ keritingku yang kian membandel.

Puncak derita, tiap helai rambutku akhirnya ditempeli kertas-kertas aluminium foil. Aku jadi mirip kalkun Thanksgiving sebelum dihidangkan! Setelah itu, aku hanya tinggal menunggu timer di meja depanku berbunyi. Aroma rambutku sudah tidak karuan, sukses membunuh selera makanku. Jadi mau muntah, tapi kutahan-tahan. Malu. Aku hanya minum banyak-banyak. Sayang, belum saatnya bisa ke kamar mandi!

Siksaan berakhir pada pukul empat sore. Syukurlah! Segera setelah kertas-kertas aluminimu foil disingkirkan dari kepalaku, mereka mengeringkan rambutku dengan hair-drier. Huh, bikin panas dan pusing!

Saat semuanya selesai, kursiku diputar menghadap cermin. Mataku langsung melotot selebar mata reog.

“Bagus, kan?” puji Andhara ceria. Dia menyentuh rambutku yang sekarang selurus rambutnya. Bedanya, rambutku masih sekaku sapu ijuk!

OMG, kunti nyasar darimana yang sekarang balas melototiku dari cermin?!

 

—– // —–

 

“Inget, pokoknya dua minggu sekali harus di-creambath,” terang Andhara padaku. “Dua bulan lagi baru balik ke salon untuk ngelurusin rambut lagi.”

Aduh, rasanya aku ibarat pasien yang harus kontrol ke dokter lagi karena penyakit berat. Salah, maksudku rambutku yang jadi ‘pasien’. Kata orang salonnya, rambut lurusku ini hanya bertahan dua bulan.

Reaksi teman-teman di kampus beragam. Ada yang memuji (entah sungguhan atau hanya ingin membesarkan hati.) Banyak yang mencela.

“Ternyata nggak cocok, Rin,” ujar Maria cuek. “Muka lo jadi keliatan tambah gede.”

“Kenapa nggak di-bonding skalian aja, sih?” Tanya Chandra penasaran. “Pasti lurusnya tahan lama.”

“Tinggal dicatok.” Lagi-lagi Rinto mengandalkan senjata favoritnya. Kupelototi dia hingga cowok kerempeng itu mengkeret.

“Gue sebenernya nggak mau dilurusin,” kuingatkan mereka. “Kakak gue aja yang iseng kurang kerjaan.”

“Ooh.”

Yang paling menyedihkan? Joe menatapku dengan ekspresi aneh. Sorot matanya dingin dan jutek. Cowok gothic yang diam-diam sangat kucintai itu tampak menjauh dan enggan bicara denganku. Aku mengerti. Dia pasti kecewa karena mengira aku minder dengan rambutku dan minder dengan diri sendiri. Ah, sial.

Tak lama, kudengar Joe jadian dengan Sally, anak jurusan lain. Sally yang mungil, tampak pede dengan rambut ikal gelapnya…

Ah, sialan!!

Mau menyalahkan Andhara juga konyol. Kalau saja aku lebih punya sikap, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Tiba-tiba dua bulan jadi terasa lama sekali. Aku kangen keritingku…

 

—– // —–

 

Kurang dari sebulan kemudian…

“AAARGH!!!”

“Ada apa, Rin?” tanya Mama yang langsung tergopoh-gopoh masuk ke kamarku pada Jumat pagi itu. Di depan cermin, kugertakkan gigiku saat mimpi buruk masih berlanjut di atas kepalaku.

Rambutku…rusak. Parah, hingga ke akar-akarnya. Kering, pecah-pecah, dan memerah. Ada pula beberapa helai yang begitu dilihat lebih dekat tampak bercabang di ujungnya. Ada juga yang patah begitu tak sengaja tertarik. Iiih…

“Apaan, sih?” Giliran Andhara yang nyelonong masuk ke kamarku. Begitu melihat rambutku, komentarnya cuma, “Lha, kan gue udah bilang lo harus rajin creambath ke salon.”

Rasanya akhir-akhir ini aku lagi sering melototi orang karena kesal. Oh, kakakku yang sangat tidak peka! Lupakah dia, ide gila siapa ini yang menumbalkan rambutku?

“Nggak mau tahu,” protesku sambil menunjuk rambut rusakku. Hiks. “Pokoknya ini harus diperbaiki, entah gimana caranya!”

“Lha, elo juga yang salah sendiri, gak doyan ke salon.” Andhara malah ngeyel.

“Emang kenapa?” tukasku tak mau kalah. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi ingin menangis. “Emang hanya rambut lurus yang rapi dan cantik? Emang semua cewek harus rajin ke salon biar dibilang cantik dan feminin? Lagian duit gue juga nggak sebanyak duit lo!”

“Sudah, sudah!” Mama langsung menengahi. Pusing juga beliau gara-gara kedua putrinya yang sama-sama bermulut mercon sudah ribut pagi-pagi. “Besok kita ke salon lagi biar Arina bias potong rambut.”

Andhara mencibir. “Dasar nggak tahu terima kasih.”

Aku hanya menjulurkan lidah. Ogah melayani bacotannya lagi. Yee, siapa juga yang minta?

 

—– // —–

 

Akhirnya, kami bertiga kembali ke salon yang sama, kali ini untuk potong rambut. Kali ini aku yang memberi instruksi singkat pada penata rambutnya untuk membuang helai-helai yang rusak. Masalahnya, berhubung rambutku (terlalu) banyak yang rusak, hasil akhirnya benar-benar mencengangkan semua orang. Nyaris habis. Cuma tersisa tiga senti dari kepala. Sekarang aku mirip tentara yang siap dikirim ke medan perang.

“Mama!” jerit Andhara. “Coba, lihat rambut Arina, Ma!”

Nah, lho. Salah lagi…

 

—– // —–

 

Kali ini, potongan rambut super pendekku berbuah cemoohan keluarga sendiri. (Hiks, hiks.) Serumah mendiamkanku sehari penuh, seolah-olah aku sengaja bikin heboh. Apalagi, kebetulan malam itu ada pernikahan sepupuku, dimana aku harus memakai kebaya. Jadilah aku perempuan Jawa yang jauh dari istilah cah ayu, alias berkelapa bondol.

“Loh, Arina kenapa, tho?” tanya tante-tanteku takjub plus ngeri. Aku hanya nyengir pasrah, sementara Papa dan Mama menjelaskan dengan wajah malu.

Saat ke kampus,kupakai topi fedora biru gelapku. Senin sore itu, sebagian besar teman sekelasku sudah memenuhi ruangan – menanti dosen. Kebanyakan tengah asyik bercakap-cakap, menekuri buku atau BlackBerry, menulis, hingga yang hanya bengong atau malah tidur.

Baguslah, pikirku lega. Kupilih barisan agak di belakang, lalu meletakkan tas di meja dan membuka topiku. Udaranya juga lagi panas.

“Arina?” Ups, ternyata ada juga yang ngeh. Sial, udah kepalang buka topi! Seisi kelas sekarang tengah menatapku dengan beragam ekspresi. Mayoritas terperanjat, dengan mata melotot atau mulut melongo. Sisanya bingung sekaligus geli.

“Kenapa rambut lo, Rin?” tanya Hari si ketua angkatan. Cowok berkaca mata yang selalu tampak rapi jali itu juga kelihatan geli. Kupakai topiku kembali sambil cemberut.

“Salah potong,” jawabku singkat. “Gue sekarang terpaksa pake topi selama dua minggu ke depan.”

“Tenang, ntar tumbuh lagi, kan?”

Pastinya.

Sama seperti sebelumnya di kelas, reaksi teman-teman nongkrongku beragam. (Ngomong-ngomong, kuputuskan untuk tidak lagi terlalu memikirkan Joe. Memikirkan cowok yang jelas-jelas sudah jadi milik orang lain sama dengan sudi jadi calon pasien RSJ. Setuju, nggak?) Seperti biasa, komentar dan reaksi Rinto paling lain daripada yang lain. Sore itu, dia memasang ekspresi tragis sambil menyentuh rambut (super) cepakku dengan ekstra hati-hati, seolah-olah duri landak yang lagi pada berdiri.

“Rin, lo…nggak lagi depresi, kan?” tanyanya dengan gaya sok dramatis. Duh, lebay.

“Iya, gue emang lagi depresi,” jawabku seketika dengan jutek. Begitu mukanya kaget betulan,kutambahkan, “Rambut gue rusak total dan harus banyak yang dibuang. Cukup bikin depresi, kan?”

“Oooh.”

Dasar. Komentar Andre, teman Rinto juga luar biasa.

“Keren juga, kok. Persis Kimmy Jayanti, pujinya yang sempat bikin aku tersipu-sipu. (Iyalah, kapan lagi dibandingin sama supermodel?) Tapi,lanjutannya begini: “Eh, gue punya kenalan cewek yang masih single. Cantik lagi. Mau?”

Dan keduanya ngacir sebelum sepasang sepatuku sukses mendarat di atas kepala masing-masing. Sialan, emangnya aku lesbi?! Stereotipe banget, sih!

 

—– // —–

 

Dua bulan berikutnya, berakhirlah my bad hair days. Rambutku sudah kembali panjang dan ikal. Yah, meski warnanya belum kembali sehitam dulu. Maklum, masih kecoklatan akibat sisa zat kimia pelurus rambut.

Sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan gembar-gembor iklan shampo. Mungkin produsennya hanya peduli pada konsumen berambut lurus. Terus kenapa? Rambutku memang sudah asli begini. Kenapa harus diubah? Gila. Yang penting sehat dan memakai shampo yang tepat (untuk perawatan, bukan pelurusan rambut!)

Dan yang penting juga pede. Memang, kalau napsu dan ego mau dituruti terus, manusia takkan pernah bisa puas. Yang keriting mau dilurusin, yang lurus mau sebaliknya.

Namun, entah kenapa, Andhara belum kapok juga dengan usahanya me-make over adiknya dengan cara-cara yang masih ‘ajaib’.

“Rin, ada salon baru lagi. Buka di Wijaya juga.”

“Nggak.”

“Coba aja dulu, Rin. Siapa tau kali ini berhasil.”

“Nggak mau.”

“Rin…”

“Pokoknya enggaaak!!”

 

-selesai-

 

Jakarta, 14/8/2011

Exit mobile version