#6 – Dia



Hmmm… Desahku. Hari ini aku kembali melihatnya. Duduk menatap jalan yang masih sepi di pagi ini. Dia hanya duduk dengan earphone yang terpasang di telinganya.

Apa yang didengarnya? Apa yang dilihatnya? Apa yang dipikirkannya?

Ah… He’s so gorgeous, I love seeing him here. Andai saja dia jadi milikku selamanya… Aku akan sangat bahagia. Aku tahu itu. Aku yakin itu.

Tapi… Mana mau dia sama aku? Dia tampan, manis, dan sepertinya bijaksana. Aku yakin dia menginginkan yang setara dengannya. Sedangkan aku? I’m just nobody.

Jadi ya… Lebih baik aku menikmati yang bisa kulakukan sekarang, yaitu mengamatinya saja. Setidaknya dengan begini aku bisa terus melihatnya tanpa harus takut dia pergi karena menghindariku.

Cukup bagiku melihatnya dari jauh dan menikmati wajahnya. Ah… Dia tersenyum. Dia semakin ganteng saja. Sungguh… Aku benar-benar jatuh hati sepertinya. Kalau aku tak melihat dia, rasanya ada yang hilang. Dan aku akan merindukannya….

Tak dapat berpikir jernih, tak dapat tidur, hanya karena dia. Sungguh… Aku jatuh cinta kepadanya. Tapi aku tahu, bahwa aku hanyalah pungguk merindukan bulan.

Kata orang, jika kau menginginkan sesuatu, kau berdoa kepada Yang Kuasa. Itu pun aku lakukan. Tapi sepertinya Yang Kuasapun menyerah dalam hal rasaku ini. Dan aku hanya dapat menerima kenyataan ini.

Yah… Kalau diminta berpikir positif seperti sering didengungkan orang-orang lainnya yang sering ke sini, satu hal positif yang aku bisa petik. Seperti yang kukatakan tadi, bahwa aku masih bisa selalu melihatnya tanpa harus takut kehilangannya – seperti beberapa kekasih yang berakhir di sini.

Sudah ah… Diariku hari ini sepertinya cukup. Ganteng…. Andai kutahu namamu… Akan kupinta mereka untuk mengukirnya di lengan besiku ini.

Jakarta, 16 November 2011

Diari sebuah kursi makan di resto fast food.

9 thoughts on “#6 – Dia”

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.