Terinspirasi dari posting dari Mita, ini coretan kisah yang saya buat.
—————————————————————————
mata yang paling indah hanya matamu,
sejak bertemu kurasakan tak pernah berubah,
sinar yang paling indah dari matamu,
sampai kapanpun itulah yang terindah
‘Sudahlah… ikut aja. Toh dah lama kan kita gak ketemu. Kangen-kangenan nih… ‘ bujuk Mita. Hari ini ada undangan dari salah seorang kerabat Mita di bilangan Jakarta Selatan nan glamor itu.
‘Kalau kangen-kangenan sih, lo sama gw aja. Ini gw mah jadi sidekick lo. Lo gak mau ketemu sama dia kan? Makanya ngajak gw. Jadi tumbal biar lo bisa kabur.’ Tembakku langsung. Mita menunjukkan sederet giginya yang memang bisa mengalahkan para aktris di iklan pasta gigi. Akhirnya setelah berdebat – eh salah, Mita lebih suka menyebut diskusi, bukan debat – aku pun mengalah dan ikut dengannya.
‘No, kenalkan. Ini Riza. Riza, ini Eno. Teman kuliahku dulu.’ Mita mengenalkanku pada temannya. Seorang pria yang mungkin akan menawan hati para wanita. Pria bernama Riza itu mengulurkan tangannya.
‘Mita tidak pernah menceritakan kalau ada bidadari di tempat kuliahnya dulu.’ Aku menjabat tangannya sebentar dan kemudian menatap Mita dengan penuh tanya.
‘Za, Eno ini bidadari dalam penyamaran. Dia tak boleh terlalu lama di luar. Makanya…’ Mita menghentikan ucapannya saat aku mencubit ringan pinggangnya dari belakang.
‘No, Riza ini temannya kakak gw. Dia ini manajer pemasaran di perusahaan otomotif ternama di Jakarta Utara. Masih single loh… ‘ kedip Mita kepadaku. Ah… seperti dugaanku. Ini alasan utama dia mengajakku malam ini, as usual.
Aku mendelikkan mataku ke arah Mita. Mita menyadarinya, namun berusaha tidak mengindahkan tatapan mataku itu. Dia terus saja ‘menjual’ Riza kepadaku. Riza hanya tersenyum mendengar semua ucapan Mita, dan semakin lama, kuperhatikan wajah Riza memerah. Entah panas karena malu atau kesenangan dipuji-puji oleh Mita.
Aku sendiri tidak tertarik dengan semua ucapan Mita. Aku sedang berpikir bagaimana caranya menghindar dari acara ini sekarang juga. Ah.. sepertinya aku pura-pura ke toilet saja, lalu nanti aku kabur dari sana. Baru saja aku ingin mengutarakan niatku ke toilet saat Mita menengok ke arahku dan mendelik. Sh*t… dia memahami pikiranku.
‘No, gw mau ke toilet dulu ya. Lo temenin Riza bentar ya. Gak apa-apa kan?’ Setelah menanyakannya, Mita segera mengambil langkah seribu menuju toilet. Sesaat sebelum menghilang, aku masih bisa melihat senyumnya seakan mengatakan ‘kau kalah langkah dariku’.
Dan kini hanya aku dan Riza di tengah-tengah kerumunan orang yang tak kukenal satupun. Aku mengenal Mita tidak hanya sehari dua hari. Ini taktiknya, yang artinya aku akan ditinggalkan lama. Mungkin saat ini Mita sudah menyatu dalam kerumunan pesta itu.
‘No, maaf ya. Kelihatannya kamu tidak nyaman. Saya minta maaf atas sikap Mita.’ Tiba-tiba Riza meminta maaf kepadaku. Aku melihat ketulusan dalam sinar matanya itu. Berbeda… itu pikirku. Beda sekali dengan saat bertemu beberapa menit sebelumnya. Matanya itu meneduhkan diriku.
‘Mita memang kadang suka menyebalkan. Tapi dia baik kok.’ Lanjut Riza. ‘Saya juga gak sangka akan ‘dijodohkan’ seperti ini oleh dia.’
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. ‘tenang saja mas. Aku dah kenal dia kok. Dia memang seperti itu. Tapi iya… dia baik orangnya.’
‘iya… dia orangnya baik. Cantik. Supel.’ Riza berbicara dengan binar mata yang berbeda lagi. Sepertinya Riza lebih dari sekedar kagum pada Mita.
‘Mas… maaf ya kalau saya lancang. Mas suka sama Mita ya?’
Riza terdiam. Cukup lama bahkan dia terdiam mendengar pertanyaanku.
‘eh… maaf mas. Maaf, kalau pertanyaannya gak sopan.’ Aku merasa tidak enak kepada Riza.
Riza menggelengkan kepalanya. Entah dia menjawab yang mana.
‘Gak perlu minta maaf kok. Cuma saya saja yang tidak siap mendengar pertanyaanmu itu.’ Riza mencoba tersenyum. ‘Ya… saya menyukainya No. Maaf ya.’
‘Loh maaf kenapa mas? Mencintai bukanlah kesalahan kok. Lagipula, justru mendengar ini membuatku lebih lega. Bukannya mas tidak menarik, justru sangat menarik. Namun… aku…’ aku menghentikan ucapanku, menatap Riza.
Dia tersenyum mendengar ucapanku. Senyum yang menarik, sebenarnya. ‘Tenang saja No. aku tahu kok, aku bukan tipemu.’
Aku pun tersenyum lega mendengar ucapannya itu. Kami sama-sama tertawa kemudian. Mentertawakan kekikukan kami sebelumnya.
‘Kenapa mas tidak mengutarakannya kepada Mita?’ tanyaku sesaat Riza memberikan aku segelas minuman bersoda yang baru diambilnya dari bar.
‘Gak, No. Itu gak mungkin aku lakukan. Aku mengenal Mita gak cuma sehari dua hari. Aku tahu dia. And I’m out of her league. Lagipula… ‘ Riza mengambil nafas sejenak sebelum meneruskan ucapannya.
‘it’s better for me like this. Dengan begini, aku masih tetap bisa di sisinya dan melakukan apapun yang aku inginkan bersamanya. Sedangkan kalau aku menyatakan dan ditolak, mungkin hubungan kami tidak akan seperti ini sama sekali.’
Aku mengangguk memahami ucapan Riza. Mita memang seperti itu, menjauh dari orang yang menyukainya jika dia sendiri tidak menyukainya. Tapi sebagai teman, Mita adalah teman terbaik.
Walau jarang bertemu, Mita akan selalu ada di sisi mereka di saat mereka membutuhkannya. Riza tersenyum. Kulihat matanya sedang berada di ujung ruangan ini. Aku pun menoleh ke arah mata itu, dan ternyata Mita sedang tertawa dengan seorang pria yang aku tahu adalah tipenya.
‘Kamu gak apa-apa? Maksudku… melihat dia seperti sekarang…’ tanyaku kepada Riza.
Riza menggelengkan kepalanya, tapi matanya masih menatap Mita.
‘Aku gak apa-apa.. eventually.’ Dia berusaha memasang senyum indah di bibirnya itu. Aku merasakan pedihnya senyuman itu. Namun Riza masih menatap Mita yang tidak menyadari kalau dia sedang diperhatikan oleh orang yang menyayanginya.
‘Terkadang cinta tak harus memiliki kan? Merelakan cinta kita untuk meraih cinta dan bahagia sejatinya akan menjadi keindahan tersendiri dalam hidup kita.’ Ucapan Riza itu mengagetkkanku yang sedang berpikir betapa beruntungnya Mita yang memiliki pengagum seperti Riza.
‘Tapi… memahami cinta tanpa memperjuangkannya, hanya akan membawa luka dalam hati ini kan?’ tanyaku yang membuat Riza menatapku lekat. Tak lama kemudian, dia tertawa, membuatku terdiam kebingungan.
‘Depends on how you see it No. For me, seeing her happy is everything. Maybe one day she’ll realize who I am, but now… this is us. Tapi kalau kita melihat keadaan ini dari sisi lainnya saja, kita takkan pernah mengerti, betapa indahnya cinta itu sendiri.’
Riza kembali dalam kesibukannya menatap Mita dari jauh. Sedangkan aku, masih tak mengerti tentang cinta yang dimaksudkan oleh Riza barusan. Kami hanya berdiri bersisian dalam dunia pikiran kami masing-masing di pesta yang meriah ini. Sepertinya malam ini akan menjadi malam panjang bagi kami berdua.
Ryan
260413 – 1541